RIWAYAT HIDUP RINGKAS TUANKU TAMBUSAI Oleh: Ir. L.P. Hasibuan
TUANKU TAMBUSAI namanya banyak yang sekaligus bercerita mengenai hidup dan kehidupannya.
Hamonangan atau si Monang panggilan sehari-hari di Batangonang.
Si Kosim panggilan sehari-hari di Daludalu sewaktu menjadi kernet penjaga kuda Pedagang Garam.
Abu Qasim namanya yang dikenali sewaktu menjadi murid diparpondokan (pesantren) Maulana Syekh Abdullah Halim dan Syekh Muhammad Saleh Tembusai.
Fakih Muhammad gelar yang diberikan kedua Syekh tersebut setelah dia menyelesaikan pelajaran dari mereka.
Tuanku Tambusai gelar yang diberikan Gerakan Wahabi (Padri) sebagai Panglima Padri untuk mengislamkan Tanah Batak bagian Timur. Yang dimulai dari Bentengnya di Tambusai (Daludalu).
Datuk Sutan Bagindo Ilang. Na Ilang-ilang tarida. Ilang di Lumban Bata Ditoru tarida di Lumban Bata Diginjang. Ilang di Lumban Bata Diginjang tarida di Lumban Bata Ditoru. Na sumolom laut Jabarulla. Lumban Bata Diginjang maksudnya di atas Khatulistiwa seperti negeri Arab, Turki dan Eropa. Laut Jabarulla maksudnya Selat Gibraltar. Kepergiannya ke Inggiris untuk mengikat perjanjian itu secara rahasia. Itulah sebabnya disebut na sumolom atau yang menyelam dia ke Inggiris itu.
Datuk Tuongku Aji Malim Leman namanya dalam turi-turian (folklore - cerita rakyat) yang sudah tersebar luas di Tapanuli Selatan.
Dolidoli Manjalak Dongan Guru na Baun Margondang Dua Saraban. Maksudnya seorang yang selalu mencari kawan dia orang Batak yang pandai membawakan irama Batak dan Minangkabau. Tidak canggung.
Syekh Abdul Wahab Tuan Guru Babussalam (Besilam). Nama Tuanku Tambusai selama bersembunyi di bawah ketiak Belanda di Langkat. Sejarah hidupnya dimulai dari Daressalam (Daludalu) dan berakhir di Babussalam (Besilam).
Nama Tuanku Tambusai dikenali setelah meninggal ialah:
Syekh Abdul Wahab Rokan Alkhalidi Naqsyabandi. Guru dari Guru aliran Naqsyabandi. Aliran Naqsyabandi tidak pernah absen dalam menentang penjajahan begitupun dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Ulama Besar sebagian orang menganggap beliau seorang Aulia. Karena mendapat kelebihan dari Tuhan. Umur yang panjang 140 tahun, orang yang mengislamkan masyarakat dari Rokan sampai ke Asahan dan diberi kurnia untuk mengisi keislaman masyarakat yang diislamkannya. Seorang yang menguasai ilmu gaib; Sastrawan dan Pujangga Ulung; Imam; Peramal. Seorang Pejuang yang tidak mau menyerah kepada Penjajah. Hatinya lembut seperti sutra, tetapi kekerasan hatinya dan semangatnya lebih keras dari baja. Itulah Tuanku Tambusai Pahlawan di mata manusia dan Tuhan.
Sebuah episod perang Padri. Askar Belanda dan Padri berjuang pada tahun 1831.
PENJELASAN RINGKAS MENGENAI IDENTITAS TUANKU TAMBUSAI
1. NAMA
Nama dari Tuanku Tambusai dari data-data Sutan Martua Raja yang terdapat dalam buku TUANKU RAO karangan Ir. Onggang Parlindungan adalah Momonangan Harahap.
Di Batangonang sewaktu beliau masih kecil dipanggil si Monang. Di Daludalu kecamatan Tembusai beliau dipanggil si Kosim.
Dari penjelasan Pak Bahrum adik Mr. Amir Syarifuddin mantan Perdana Menteri Republik Indonesia, nama-nama keturunan mereka selalu terdiri dari dua kata. Jadi nama Tuanku Tambusai sewaktu kecil adalah KOSIM HAMONANGAN HARAHAP.
Setelah Kosim Hamonangan menamatkan pelajaran agama dari Tuan Syekh Tembusai dia mendapat gelar Fakih Muhammad. Fakih adalah gelar yang diberikan kepada orang yang ahli dalam ilmu Syaraf. Sebutlah sarjana bidang Hukum Syariat Islam.
Dalam cerita turi-turian yang disebar luaskan Tuanku Tambusai untuk membakar semangat rakyat supaya tetap anti kepada penjajahan nama beliau disebut Datuk Tuangku Aji Malim Leman. Datuk nama yang biasa di daerah Minangkabau. Seakan memberitahu beliau banyak tersangkut dengan masyarakat Minangkabau. Tuanku dalam bahasa dan kebiasaan Batak disebut Tuongku. Seakan bercerita bahwa beliau bangga akan jabatan dan pangkatnya dalam pasukan Padri dengan pangkat jendral Padri tersebut. Aji nama kehormatan kepada orang yang memiliki ilmu gaib dan mistik.
Malim sebutan kepada orang yang taat melaksanakan agama Islam. Si Leman nama lelaki di Tapanuli Selatan berasal dari nama Nabi Sulaiman. Seorang Nabi yang bisa berhubungan dengan makluk halus dan Jin.
Beliau juga dalam turi-turian itu menyebut namanya sewaktu muda Datuk Baginda Ilang, na ilang-ilang tarida. Na pulang balik tu Moka Madina na manyolom laut Jabarulla.
Begitulah Tuanku Tambusai bercerita mengenai kehidupan dan domisilinya yang tidak tetap. Hilang dari tempat satu muncul di tempat lain. Bahkan entah berapa kali mengunjungi Mekah dan Medina.
Tuanku Tambusai pernah belajar ilmu perang pada Tentera Turki di Arabia terutama bidang perbentengan (Fortification Technics). Pernah menjadi Duta Khusus Gerakan Wahabi untuk Saudi Arabia. Menggantikan Tuanku Tinaro yang meninggal di Arabia. Tuanku Tambusai berada di sana tahun 1818 - 1821. Dalam tahun ini juga Tuanku Tambusai berbulan-bulan mengikuti Raja Faisal bergerilya di Gurun Nesyed Hadramaut melawan kekuasaan Turki di Negeri Arab. Na Sumolom Laut Jabarullah atau menyelam Laut Gibraltar maksudnya Tuanku Tambusai pernah juga ke Eropah menyeberangi Selat Jibraltar. Mungkin ke Inggiris secara rahasia kepergiannya itu.
Di dalam negeri juga Tuanku Tambusai selalu berpindah-pindah sewaktu bergerilya melawan Penjajah Belanda untuk menghilangkan jejak. Kuburan Tuanku Tambusai yang palsu ada 6 tempat yang diketahui. Demikian Tuanku Tambusai memilih namanya Datuk Baginda Ilang yang dapat bercerita panjang tentang kehidupan dan perjalanannya.
Dalam buku Riwayat Hidup Syekh Abd. Wahab pendiri pesantren Babussalam (Besilam) yang dikarang Fuad Said disebut nama kecil Tuan Guru Syekh Abd. Wahab adalah Abu Qasim. Sedang menurut penyelidikan Penulis (Ir. L.P. Hasibuan) Tuan Guru tersebut adalah Tuanku Tambusai yang bersembunyi di bawah ketiak Penjajah Belanda selama ini. Penjelasan dan bukti-bukti Tuan Guru Syekh Wahab adalah Tuanku Tambusai dapat dilihat pada buku yang berjudul: "Menapak Jejak Tuanku Tambusai" dan buku berjudul: "Menyingkap Riwayat Hidup Tuan Guru Syekh Abd. Wahab", karangan Ir. L.P. Hasibuan.
Tuanku Tambusai adalah nama yang diberikan Gerakan Wahabi kepadanya. Tuanku maksudnya pimpinan Padri (Jendral) di dalam kemiliteran. Sedang Tambusai adalah nama daerah di Riau sebesar kecamatan. Daludalu adalah ibukota Kecamatan Tembusai. Karena dari Daludalu inilah titik tolak Tuanku Tambusai dalam mengislamlkan daerah bagian timur Tapanuli.
Benteng Daludalu itu oleh Tuanku Tambusai disebut Benteng Daressalam (pintu keselamatan).
Ompu Baleo adalah nama Tuanku Tambusai setelah beliau melepaskan semua yang berbau Minangkabau, dan selanjutnya berjuang melawan Belanda menurut versi orang Batak di Daerah Batak.
Sebagai kesimpulan nama beliau dapatlah disebut:
KOSIM HAMONANGAN alias FAKIH MUHAMMAD alias TUANKU TAMBUSAI alias OMPU BALEO alias SHAKH ABD. WAHAB ROKAN ALKHALIDI NAQSYABANDI, bermarga HARAHAP.
Strait of Gibraltar
2. TEMPAT / KAMPUNG KELAHIRAN
Dari Buku Tuanku Rao
Dari data-data Sutan Martua Raja (SMR) yang terdapat pada buku Tuanku Rao jelas disebut, bahwa Tuanku Tambusai berasal dari Batangonang. Umur 10 tahun dia telah menjadi anak yatim piatu. Hatinya yang kuat untuk menuntut ilmu agama Islam dia mengikutkan rombongan kuda kuli pedagang garam ke Daludalu. Batangonang kebetulan merupakan daerah lintas mereka dari Siabu - Damar Nagodang ke Daludalu. Pedagang Garam ini selalu bermalam di Batangonang sebelum melanjutkan perjalanan. Dari Pedagang Garam inilah ayah Tuanku Tambusai memperoleh kabar bahwa di Tambusai ada dua orang Tuan Syekh yang dalam pengetahuannya dibidang agama. Tetapi belum sempat ayahnya mengantar dia ke Tembusai ayahnya sudah meninggal. Itulah sebabnya dia mengikutkan rombongan pedagang itu supaya bisa meneruskan cita-cita ayahnya.
Guna mengumpulkan belanja selama bersekolah nantinya, untuk beberapa tahun dia menjadi kernet Pedagang-Pedagang tersebut di Daludalu. Sewaktu Pedagang itu istirahat ataupun berbelanja di pasar dialah yang memberi makan dan memandikan kuda-kuda Pedagang itu. Daludalu pada waktu itu merupakan persimpangan lintas Pedagang Garam. Dari pantai dibawa barang-barang dari luar negeri, sedang dari pedalaman dibawa hasil bumi. Mereka disebut Pedagang Garam karena mereka selalu membawa garam ke pedalaman disamping dagangan lainnya.
Gambar Hiasan: Tuanku Tambusai rajin melaksanakan tugasnya sebagai kernet
Tuanku Tambusai rajin melaksanakan tugasnya sebagai kernet itu sehingga Pedagang-Pedagang itu senang kepadanya. Bukan saja dia dapat mengumpulkan uang untuk belanja mengaji, tetapi juga dia menguasai sifat-sifat kuda yang dijaganya.
Pengetahuannya mengenai sifat-sifat kuda ini ternyata dapat mengangkat namanya di dalam pasukan Padri yang menitik beratkan kepada Cavalrist/Pasukan Berkuda.
Setelah dia menamatkan pelajaran agama dari kedua Tuan Syekh di Tembusai, dia mendapat gelar Fakih Muhammad.
Umur yang masih muda dan haus akan memperdalam agama dia pergi ke Kamang masuk ke Pesantren Tuanku Nan Renceh. Demikian advis dari Pedagang Garam dari Minangkabau, bahwa di Pesantren Tuanku Nan Renceh diajarkan pengetahuan Islam yang baru dari Mazhab Hambali.
Pada saat itu Tuanku Nan Renceh (Gerakan Wahabi) hendak mengislamkan masyarakat Batak secara massal. Itulah sebabnya dia memasuki anggota Pasukan Padri tersebut. Kebetulan kepadanya dipercayakan memimpin Pasukan Padri di bagian Timur Tanah Batak tersebut.
Dari Folklore Turi-Turian
Turi-turian ni Datuk Tuongku Aji Malim Leman adalah salah satu turi-turian yang disebarluaskan Tuanku Tambusai untuk membakar semangat rakyat supaya tetap anti kepada Penjajah. Masih banyak judul turi-turian lainnya yang disesuaikan kepada tempat dan masyarakat yang hendak diinsyafkan. Seperti turi-turian ni "Tunggang Hayuara Mera", turi-turian ni "Sutan Naposo Di Langit", dan lain-lain.
Turi-turian ni Datuk Tuongku Aji Malim Leman seakan merupakan induk turi-turian yang dibuat Tuanku Tambusai. Turi-turian ini boleh dikatakan "The Story Tell Himself".
Dalam turia-turian ini disebut dia tinggal di Kuala Batang Muar. Tetapi kampung kelahirannya di "Pulo Alang Pulo Iling Pulo Haluang Mambariba". Terselubung.
Pulo Alang = Satu daerah yang terdiri dari alang-alang atau padang yang luas = Padang Laweh = Padang Lawas.
Pulo Iling = Orang Minangkabau kalau ke Tapanuli melalui daerah yang iling atau daerah yang miring. Kampung-kampung pun di sana dibuat di daerah iling (miring) di lereng bukit. Seperti Muara Sipongi, Pakantan dan lain-lain. Orang Minang mengambil inde (ibu) ke daerah Iling. Mengambil inde atau kawin dalam bahasa Minang adalah mande. Jadi Mande ke daerah Iling menjadi Mandeiling atau Mandailing.
Pulo Haluang Mambariba = Satu daerah itu setengahnya masih tempat kelelawar tidur. Belum terusik oleh pengaruh luar terutama agama Islam. Tuanku Tambusai sudah beragama Islam jadi dia datang dari bagian yang telah terusik atau Tapanuli Selatan.
Jadi Pulo Alang Pulo Iling Pulo Haluang Mambariba = Dari Tapanuli Selatan antara Padang Lawas dan Mandailing. Kampung termaksud adalah Batangonang. Lihat peta.
Dari Buku Syekh Abd. Wahab Tuan Guru Babussalam Karangan H.A. Fuad Said.
Syekh Abd. Wahab Tuan Guru Babussalam tidak lain adalah Tuanku Tambusai. Demikian terungkap pada buku "Menyingkap Tabir Riwayat Hidup Tuan Guru Babussalam Syekh Abd. Wahab" karangan Ir. L.P. Hasibuan.
Dalam buku Syekh Abd. Wahab Tuan Guru Babussalam karangan H.A. Fuad Said ada disebut Tuan Guru tinggal di Tanah Putih, tetapi kampung kelahirannya di kampung Danau Runda, Rantau Binuang Sakti, Negeri Tinggi, Rokan Tengah, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau.
Kampung Danau Runda, Rantau Binuang Sakti, Negeri Tinggi, Rokan Tengah, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau.
Penjelasan mengenai lokasi kampung ini begitu panjang. Terasa berlebihan sehingga menjadi janggal.
Kampung Danau Runda, Rantau Binuang Sakti, Negeri Tinggi. Seperti terselubung ada yang disembunyikan yang hendak diterangkan penjelasan tersebut.
Umpamanya kampung Danau Toba itu tidak ada. Yang ada mungkin Kampung Toba atau kampung Danau. Atau kampung dekat Danau Toba.
Jadi kampung Danau atau kampung Runda mungkin ada. Tetapi kampung Danau Runda itu tidak ada yang ada kampung dekat Danau Runda.
H.A. Fuad Said mengatakan beliau membuat buku Syekh Abd. Wahab Tuan Guru Babussalam itu hanya menukar tulisan Arab Melayu ke tulisan Latin. Siapa yang menulis manuskrip tulisan Arab Melayu itu beliau tidak tahu. Diterimanya dari Haji Bakri anak Syekh Wahab yang selalu mengikuti Syekh Wahab kemana pergi.
Ramda dan Runda dalam tulisan Arab tidak jauh berbeda. Bisa saja salah baca, apalagi kalau manuskripnya sudah tua. Jika kesalahan itu terjadi seharusnya terbaca: "KAMPUNG DANAU RAMDA, RANTAU BINUANG SAKTI, NEGERI TINGGI".
Ramda jika ditukar suku katanya dan dibalik-balik menjadi DAMAR. Sehingga Kampung Danau Ramda kemungkinan yang dimaksud kampung di dekat DANAU DAMAR.
Batangonang terletak dekat Danau Damar. Jalan yang mengelilingi Danau Damar itu dikenal orang sampai sekarang jalan lintas Damar Nagodang-Siabu. Jalan pintas dari Padang Lawas ke Mandailing. Dulu jalan itu jalan lalu-lintas Pedagang Sira (Garam). Kol. Elout pada tahun 1834 pernah menyerang Padang Lawas/ Pasukan Tuanku Tambusai datang dari jalan Damar Nagodang ini. Tetapi dipukul mundur Pasukan Tuanku Tambusai di bawah pimpinan istrinya bernama Srikandi Nan Duri Batang Sosa. Tentunya merupakan kenangan manis yang tak mudah dilupakan oleh Tuanku Tambusai.
Pada agresi II tahun 1949 kampung Morang yang terletak di jalan lintas Damar Nagodang ini pernah dibakar serdadu Belanda. Sebab orang kampung itu tidak mau memberi keterangan mengenai pasukan kita yang lewat di situ menuju Benteng Huraba.
RANTAU BINUANG SAKTI
Ranto dalam bahasa Batak artinya tempat yang dangkal Binuang (bahasa Batak) artinya tempat kerbau berendam Sakti jika hurufnya dibalik-balik bisa menjadi TASIK Dekat Kampung Batangonang ada danau yang bernama Danau Tasik Danau Damar dan Danau Tasik berendeng tidak jauh dari Batangonang.
Disebut Danau Damar karena di sekitar danau banyak kayu damar. Yang menarik pada Danau Tasik, hampir setengah dari danau itu tetap dangkal (ranto). Tempat kerbau milik rakyat berendam. Waktu dulu ratusan kerbau berendam di situ. Merupakan pemandangan yang menarik. Anak-anak juga turut mandi-mandi di danau itu di antara kerbau-kerbau tersebut. Danau Tasik terletak di tengah dataran tinggi steppe yang paling ideal tempat jalangan kerbau.
Bukan tidak mungkin Syekh Abd. Wahab Tuan Guru Babussalam itu waktu kecil selalu mandi sambil menunggang kerbau. Pindah-pindah dari kerbau satu ke kerbau yang lain. Atau turut pula berpacu menunggang kerbau yang berenang dari pinggir satu ke pinggir lain danau Tasik tersebut. Itu semua merupakan kenangan di masa kanak-kanak yang tak mungkin terlupakan.
Ada pepatah Batak yang menyangkut kata binuang.
"Nada tarparhorbo BINUANG, nada tarparbaju SANGKOTAN" artinya: Orang kaya yang sudah jatuh miskin atau orang yang pernah berkuasa kemudian tak bisa berbuat apa-apa karena kuasanya telah hilang tidak perlu mengkhayal di masa kejayaannya. Walaupun bekasnya masih jelas tertinggal seperti bajunya yang banyak dulu sekarang tinggal sangkutannya saja. Kerbau yang banyak dulu sekarang sudah tiada tinggal binuangnya saja (tempat berendamnya saja).
Bukan tidak mungkin Syekh Abd. Wahab Tuan Guru Babussalam itu waktu kecil selalu mandi sambil menunggang kerbau. Pindah-pindah dari kerbau satu ke kerbau yang lain.
TANAH TINGGI
Batangonang terletak di dataran tinggi di lereng Bukit Barisan.
Dari penjelasan ini dapat diketahui kampung asal kelahiran Tuan Guru Babussalam Syekh Abd. Wahab alias Tuanku Tambusai adalah di "Batangonang" di tempat yang TINGGI dekat DANAU DAMAR dan DANAU TASIK antara PADANG LAWAS dan MANDAILING di TAPANULI SELATAN.
3. TAHUN KELAHIRAN
Dari buku TUANKU RAO karangan Ir. Onggang Parlindungan ada disebut Benteng Tambusai didirikan tahun 1811. Kemudian diangkatlah Fakih Muhammad menjadi Tuanku Tambusai mengepalai pasukan Padri yang bergerak dari Benteng itu untuk mengislamkan Tapanuli. Umur Tuanku Tambusai pada waktu itu jalan 27 tahun atau sebutlah 26 tahun.
Tentunya Tuanku Tambusai lahir pada tahun 1785.
Setelah tahun 1863 Sutan Martua Raja ayah Ir. Onggang Parlindungan tidak bisa memantau kehidupan Tuanku Tambusai lagi.
Sehingga Ir. Onggang Parlindungan dalam bukunya TUANKU RAO menyebut:
Makam dari Tuanku Tambusai tidak pernah diketahui entah di mana. Tidak pun diketahui, entah kapan, di mana, dan bagaimana Tuanku Tambusai wafat. "An Old Soldier Never Dies. He Simply Fades Away". Orang-orang Padanglawas percaya, bahawa Tuanku Tambusai tidak mati. How??? Katanya: Tuanku Tambusai dengan kudanya "Si Ganding Bara", masuk ke dalam gua di dalam tanah. Di situ hidup terus hingga ini hari masih.
Demikian pandai Tuanku Tambusai menghilangkan jejak. Sehingga orang-orang apalagi Penjajah Belanda betul-betul kehilangan jejak beliau. Yang tinggal hanya cerita yang dimythoskan terhadap dirinya. Tentang kekeramatannya, tentang keperkasaannya, tentang kekerasan hatinya yang tidak mau berkompromi dengan bangsa Penjajah.
Dari buku Syekh Abd. Wahab Tuan Guru Babussalam karangan H.A. Fuad Said disebut Syekh Abd. Wahab wafat tanggal 27 Desember 1926.
Karena Syekh Abd. Wahab adalah Tuanku Tambusai juga maka umur Tuanku Tambusai adalah 141 tahun.
"Si Ganding Bara"
4. PENDIDIKAN
Umur 10 tahun beliau sudah hafal Quran. Karena keistimewaannya inilah maka Pedagang Garam yang lewat di kampung itu menganjurkan kepada ayahnya supaya dia memperdalam ilmu ke Tuan Syekh yang ada di Tembusai.
Dalam waktu singkat pengetahuan kedua Tuan Syekh yang ada di Tembusai selesai dipelajarinya. Dengan bangga hati kedua Tuan Guru memberi gelar Fakih Muhammad kepada beliau. Serta menganjurkan supaya dia pergi ke Kamang ke pesantren Tuanku Nan Renceh. Sebab di sana ada ajaran Islam yang baru Mazhab Hambali.
Tahun 1818-1821 Tuanku Tambusai menjadi Duta Gerakan Wahabi di Arabia. Pada waktu ini beliau memperdalam ilmu Thariqat Naqsyabandi. Sehingga di Indonesia beliau dikenal Guru dari Guru ilmu Thariqat Naqsyabandi. Sebab murid-muridnya banyak yang menjadi Guru-Guru ilmu Thariqat tersebut tersebar bukan saja di Indonesia ini. Tetapi banyak di Malaysia, India dan Tiongkok.
Sewaktu serdadu Belanda menyerang pasukannya yang datang dari Tangga Begu dan membunuhi anggota pasukannya dengan mudah termasuk istrinya yang tercinta Nan Duri Batang Sosa turut gugur di situ. Hatinya sedih dan kecewa sehingga beliau putus asa. Tuanku Tambusai pergi ke hutan Aek Hayuara Tanah Adat Hasahatan di atas Pagaranbira (Tangga Begu) bersuluk/ berkhalwat.
Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Rao
Karena desakan ibunya yang tercinta Tuan Aji Layan Bolon dan mengingat pesan terakhir ayahandanya juga Tuan Syekh Panjang Janggut, maka beliau bangkit dari persulukannya. Bangkit menyusun kekuatan melanjutkan perjuangan melawan Penjajah Belanda.
Yang dimaksudkan dengan ibunda yang tercinta Tuan Aji Layan Bolon itu ialah Tanah Air Bumi Persada Indonesia.
Sedang ayahandanya Tuan Syekh Panjang Janggut adalah Tuanku Imam Bonjol. Begitu pesan Tuanku Imam Bonjol pada beliau Tuanku Tambusai, supaya perjuangan mengusir Penjajah Belanda harus dilanjutkannya.
Mengenai ilmunya yang dalam dibidang agama Islam, dapat diketahui dari pernyataannya dalam turi-turian Datuk Tuongku Aji Malim Leman yang dibuatnya. Beliau katanya:
Hayuara Junjungan Datuk Tuongku Aji Malim Leman Na kiramat mate na sati mangolu Na sumbayang pitu noli sadari saborngin Di toru payung abar-abar ditoru payung obur-obur Na marmandersa pangajian Na puangka-ungkap Quraan Na liput sapanjang gala Na pulang balik tu Moka Madina Na sumolom laut Jabarulla Raja worling raja Panasunan Bulung
artinya:
Paduka Yang Mulia Datuk Tuongku Aji Malim Leman orang yang dikiramatkan setelah mati dan penuh wibawa semasa hidup. Yang sembahyang tujuh kali sehari semalam (termasuk tahajjud dan dhuha tidak pernah tinggal). Dihormat orang dibidang agama dan memiliki ilmu gaib dan dihormati dibidang adat karena menguasai adat. (selain adat Batak mungkin juga adat Minang). Mesjidnya sekaligus tempat pengajian, persulukan dan lain-lain. Yang selalu membaca Quran hingga tammat entah beberapa kali dan membaca buku-buku agama yang banyak. Jika ditumpukkan tingginya melebihi panjang galah. Galah yang terpanjang kira-kira 7 meter, tumpukan buku yang dibacanya lebih tinggi lagi. Beberapa kali mengunjungi Mekah dan Medina. Orang yang pernah melewati Laut Gibraltar secara sembunyi-sembunyi. Mungkin ia ke Inggiris sewaktu mengadakan perjanjian rahasia dengan Inggeris. Raja yang berkuasa di atas raja-raja Panasunan di Padanglawas dan Kampar.
Pendidikan Kemiliteran
1. Tuanku Tambusai telah lulus dari ajaran Tuanku Lintau guru penjak silat yang termasyhur dari Pasaman.
2. Lulus dari pendidikan perang-perangan dengan berkuda dari Zafrullah Khan gelar Tuanku Hitam ex-serdadu Inggiris dari Bengkulen dan lulus dari pendidikan Mayor Sumanik, bekas Perwira Artillery Tentera Turky.
3. Lulus dari pendidikan General Staff & Command di Kamang asuhan Kolonel Haji Piobang. Bekas perwira Janitsar Cavalry Tentera Turky dan gemblengan mengenai Mazhab Hambali dari Haji Miskin bekas Hermit di gurun-pasir Nesyed/ Arabia dan Guru Besar Haji Hasan Nasution gelar Tuanku Kadi Malikul Adil.
4. Khusus dibidang Perbentengan (Fortification Tecniques) Tuanku Tambusai dikirim belajar kepada Tentera Turky di Arabia.
Demikian pendidikan Tuanku Tambusai di bidang agama dan Kemiliteran di sampaing beliau adalah seorang yang fasih berbahasa Arab sehingga beliau selalu diutus menghubungi raja-raja Arab dan Turky.
5. LOKASI DOMISILI
1785 - 1795 : Di batangonang 1795 - 1803 : menjadi kernet kuda dan mengaji di Tembusai 1803 - 1811 : mengaji di pesantren Tuanku Nan Renceh dan belajar ilmu kemiliteran di Minangkabau 1811 - 1816 : menjadi pimpinan pasukan Padri di Daludalu Benteng Daressalam (Benteng Daludalu) Tembusai 1816 - 1818 : masuk ke Tapanuli dan mengislamkan masyarakat Batak Bagian Timur sampai ke Asahan 1818 - 1821 : menjadi Duta Padri/ Gerakan Wahabi di Arabia 1821 - 1838 : di Daludalu dan Siborna. di Siborna Kecamatan Sosa beliau mengatur pengiriman bahan makanan ke Bonjol seperti beras, daging saleh, ikan saleh dan merekruit tentera untuk pasukannya sendiri serta untuk dikirim sebagai bala-bantuan ke Bonjol. Tempat melatih anggota pasukan itu di Padang Pangasaan. 1838 - 1860 : setelah serdadu Belanda masuk dari Tangga Begu membakar Mandersa Tuanku Tambusai di Siborna dan membumi hangus Benteng Daludalu, beliau mendirikan Mandersa di Padang Mandersa Sipagabu Kecamatan Barumun Tengah 1860 - 1871 : setelah Kesultanan Panai yang didirikan Dasopang hancur dibuat Bajaklaut yang di organisir Belanda dan Belanda mendirikan Bivak di Tanjung Kopiah muara Sungai Barumun. Tuanku Tambusai pindah ke Rimbo Mahato. Mendirikan Mandersa di pinggir Sungai Putih anak Sungai Rokan. Aliran perdagangan dan hubungan keluar sudah putus melalui Sungai Barumun, karena itulah Tuanku Tambusai beralih ke Sungai Rokan supaya ada hubungan keluar. Sultan Panai ada lah sekutu Tuanku Tambusai. Karena itu Belanda berusaha menghancurkan kesultanan tersebut dengan mengerahkan Bajaklaut beberapa kali dan mengadu-domba Kesultanan Panai dan Kotapinang. Kotapinang pro Belanda. Belanda tidak langsung menghantam Panai, karena takut kalau Tuanku Tambusai ikut campur. Ikut campurnya Tuanku Tambusai berarti mengundang Inggiris ikut campur. 1870 - 1879 : bermukim di Kualuh mendirikan Kampung Mesjid. Gunung Tinggi adalah kampung marga Ritonga pimpinan Sutan Humala Panjang. Sutan Humala Panjang sudah tua digantikan anaknya Patuan Nan Lobi. Patuan Nan Lobi telah dipersiapkan Tuanku Tambusai untuk memimpin Perang Padanglawas dengan benteng yang dibangun Tuanku Tambusai di Gunung Tinggi tersebut. Patuan Nan Lobi telah terpancing Ja Huala dan Ja Mambale Raja Dasopang dan Raja Tamba untuk menyerang Kala Pane (Kotapinang). Dengan alasan penyerangan ini Belanda mendatangkan serdadu pasukan khususnya untuk menghancurkan kekuatan Tuanku Tambusai di Gunung Tinggi tersebut. Itulah sebabnya Tuanku Tambusai pindah dari Rokan ke Kualuh membawa pasukannya ke Kampung Mesjid supaya dekat ke Gunung Tinggi. 1880 - 1889 : pindah ke Langkat setelah Belanda memenangkan perang Padanglawas tersebut dan mendiri kan kampung Besilam (Babussalam). 1889 - 1892 : pindah ke Malaysia untuk membangun Kontingen Mandailing dengan Imam Perangnya Ja Paruhum. 1892 - 1926 : kembali ke Besilam, Langkat. 27-12-1926 : Tuanku Tambusai wafat di Besilam dengan nama Syekh Abd. Wahab Rokan Alkhalidi Naqsyabandi dalam usia 141 tahun.
Makam Nan Renceh
Tuanku Nan Renceh
6. PERJUANGAN
1816 - 1818 : Dari benteng Daressalam (Daludalu), beliau mengislamkan masyarakat Batak sebelah Timur, dari Sungai Rokan sampai ke Sungai Asahan secara massaal.
1818 - 1821 : Menjadi Duta Gerakan Wahabi Minangkabau kepada Gerakan Wahabi di Arabia, menggantikan Tuanku Tinaro yang meninggal dalam perjalanan sewaktu menuju ke Arabia.
Berbulan-bulan Tuanku Tambusai mengikuti keluarga Saudi di bawah pimpinan Faisal Ibnu Saud, putra dari Abdullah Ibnu Saud yang pada tahun 1816 dipancung Tentera Turky di Stambul.
Pengalaman bergerilya bersama Faisal Ibnu Saud di Gurun Nesyed/ Hadramaut melawan tentera Turky inilah yang telah membentuk kekerasan hati Tuanku Tambusai untuk terus bergerilya mengusir Penjajah Belanda.
1821 - 1837 : Sekembalinya dari Arabia Benteng Bonjol sudah dikepung Belanda. Bantuan dari Masyarakat Masyarakat Minangkabau sudah putus tidak bisa diharapkan lagi, karena semua sudah dikuasai Belanda. Dalam mengepung Benteng Bonjol, Belanda telah mendirikan Benteng Fort de Kockn di Bukittinggi. Fort van der Capellen di Batusangkar, Benteng Penyerangan dari Lubuksikaping dan Pakantan dan lain-lain.
Tuanku Tambusai mendirikan Mandersa di Siborna yang dikenal sampai sekarang Padang Mandersa di dekat Mondang (Mondang Baru). Dari Benteng Daressalam Tuanku Tambusai menyerang Fort van der Capellen dan iring-iringan serdadu Belanda antara Fort van der Capellen yang bergerak ke Benteng Bonjol. Dari Padang Mandersa Siborna Pasukan Tuanku Tambusai bergerak melalui Sopodua di Bukit Barisan menghadang iringan serdadu Belanda yang bergerak dari Pakantan menuju Benteng Bonjol. Malahan Benteng BElanda di Pakantan juga diserang Pasukan Tuanku Tambusai kalau serdadu Belanda telah terkumpul mengepung Bonjol.
: Sehingga rencana Belanda menyerang Benteng Bonjol buyar sekali. Demikian taktik yang dibuat Tuanku Tambusai, sehingga Benteng Bonjol dapat bertahan 15 tahun dalam kepungan ketat serdadu Belanda dan Benteng Bonjol telah terisolasi dari masyarakat Minangkabau.
Kekuatan Pasukan Tuanku Tambusai hanya mampu menyerang "hit and run", tetapi betul-betul menyusahkan serdadu Belanda.
Dari Padang Madersa Siborna ini juga bahan makan ke Benteng Bonjol yang sudah terkepung disuply. Melalui poa Pinarik - Bukit Barisan - Bonjol, yang berjarak 1 (satu) hari perjalanan. Seperti beras, daging saleh, ikan saleh. bahkan juga pasukan dikirim ke Benteng Bonjol tersebut.
Tempat latihan pasukan yang dikirim itu di Padang Pangasaan dekat Siborna. Tugas pengiriman bahan makanan ke Bonjol dan merekrut anggota pasukan diserahkan kepada isternya Tuanku Tambusai bernama Nan Duri Batang Sosa. Tempat mengawasi jalannya latihan perang-perangan itu dikenal orang Tor Panoduran sampai sekarang.
1838 : Belanda masuk melalui Tangga Begu menyerang Pasukan Tuanku Tambusai di Padanglawas. Tangga Begu terletak antara Mandailing dan Padanglawas di Bukit Barisan. Tempat yang curam di sana berupa tangga dan karena dilewati serdadu Belanda disebut Tuanku Tambusai Tangga Begu. Tuanku Tambusai menyebut Belanda adalah Begu.
Anggota Pasukan Tuanku Tambusai habis dibunuhi serdadu Belanda dalam pertempuran ini "Suang Songon Na Mangarabi Bira", kata Tuanku Tambusai. Istrinya yang tercinta Srikandi Nan Duri Batang Sosa turut gugur dalam pertempuran ini. Tempat pertempuran ini diberi Tuanku Tambusai namanya Pagaran Bira. Pagar Bira (keladi) yang tidak bisa diharapkan sebagai pagar (handang).
Dari Pagaran Bira Belanda menyerang anggota Pasukan Tuanku Tambusai yang mundur ke Siborna. Di Siborna juga terjadi pertempuran habis-habisan. Alat persenjataan yang jauh lebih unggul dari unggul dari alat persenjataan yang dimiliki Pasukan Tuanku Tambusai dapat menundukkan semangat yang begitu berapi-api. Maleu kata Tuanku Tambusai.
: Setelah serdadu Belanda memukul Pasukan Tuanku dan membakar Mandersanya di Mondang Baru, serdadu Belanda bergerak menyerang Benteng Daressalam di Daludalu. Perlawanan yang begitu gigih dari anggota pasukan Tuanku Tambusai tidak mempan kepada kekuatan serdadu Belanda yang begitu besar dan ampuh. Kekuatan serdadu Belanda yang mengepung Benteng Bonjol ditambah serdadu Belanda dari Pakantan, Benteng Lubuksikaping dan lain-lain semua dikerahkan menyerang Pasukan Tuanku Tambusai. Serdadu Belanda dari Benteng Fort van der Capellen dan Fort de Kokn turut mengepung Benteng Daressalam dari arah Selatan. Benteng Daressalam habis dibubur meriam-meriam Belanda. Benteng Daressalam dibumi hangus serdadu Belanda maka habislah pertahanan perlawanan Pasukan Padri yang terakhir pada tahun 1838.
1839 : Setelah Mandersa di Padang Mandersa Siborna dan Benteng Daressalam di Daludalu dibumi- hangus Belanda; Tuanku Tambusai mendirikan Mandersa di Sipagabu. Sampai sekarang dikenal orang tempat Mandersanya itu Padang Mandersa ni Baleo i di Sipagabu. Tuanku Tambusai bermukim di sini lebih kurang 21 tahun.
1860 : Tuanku Tambusai pindah ke Rimbo Mahato dan mendirikan Mandersa sambil pengajian di pinggir Sungai Putih. Karena Sungai Barumun tidak bisa dimanfaatkan untuk hubungan ke luar dan lalu lintas perdagangan. Belanda sudah mendirikan Bivak di Pulau Kopiah di mulut/muara Sungai Barumun.
1839 - 1860 : Pasukan Tuanku Tambusai turut memperkuat Pasukan Kesultanan Panai terhadap penyerangan serdadu Belanda ke Labuhanbilik. Walaupun yang menyerang Kesultanan Panai di Labuhanbilik itu disebut Bajaklaut. Itu hanya politik Belanda untuk meghindari campur tangan Inggiris.
1840 : Tuanku Tambusai mengikat perjanjian dengan Inggiris dan Sultan Siak Sri Indrapura. Untuk perjanjian ini Tuanku Tambusai pernah pergi ke Inggiris secara rahasia. Yang di dalam turi- turian ni Datuk Tuongku Aji Malim Leman yang dibuat Tuanku Tambusai disebut Na Sumolom Laut Jabarullah. Laut Jabarullah = Laut Gibraltar.
1843 : Akibat dari perjanjian ini Inggiris mengusir Belanda dari Padanglawas dan Kampar. Belanda meninggalkan Padanglawas dan Kampar dengan ketentuan:
1. Pemerintah Belanda diizinkan oleh Pemerintah Inggiris merebut Kesultanan Aceh. Hal mana belum diizinkan pada London Cobvention tahun 1814 serta pada London Tractat pada tahun 1824.
2. Dengan syarat bahwa: Daerah Pengaliran Sungai siak serta Daerah Pengaliran Sungai Rokan, merupakan Sphere Of interest Pemerintah Inggiris!!
Setelah Belanda meninggalkan Padanglawas dan Kampar Tuanku Tambusai bebas menyusun kekuatan untuk melawan Belanda. Beliau mendirikan Benteng di Gunung Tinggi. Mempersiapkan Patuan Nan lobi menjadi Panglima Perang Padanglawas yang di rencanakan itu.
Pertempuran itu nantinya akan dicampuri Inggiris dan dengan demikian maksud Inggiris mencaplok untuk menyatukan Daerah Aliran Sungai Siak dan Rokan ke Malaya di bawah kekuasaan Inggiris terkabul.
Pada tahun 1843 meninggalkan Padanglawas dan Kampar secara resmi. Tetapi secara diam-diam Belanda melaga Raja-Raja ini di Padanglawas dan serdadunya mencampuri membantu Raja yang pro kepada Belanda. Yang menurut istilah Muhammad said Sejarawan Sumatera Utara: Belanda keluar dari pintu muka, tetapi masuk dari pintu belakang.
1871 - 1879 : Perang Padanglawas
Perang antara Pasukan Tuanku Tambusai yang dibantu anggota Pasukan dari Raja-Raja di Padanglawas melawan Pasukan khusus Belanda yang didatangkan dari Batavia yang diperkuat serdadu Belanda yang ada di Bengkalis. Labuhanbilik, Tanjung Kopiah, Tanjungbalai dan Labuhanbatu. Dari sebelah Barat turut pula menyerang Gunung Tinggi dari Padangsidempuan dan serdadu Belanda dari Padang.
: Belanda tidak mau mengkaitkan Perang Padanglawas ini dengan Tuanku Tambusai dan Padanglawas. Karena Belanda mengetahui Inggiris akan turut campur. Belanda mengetahui ada perjanjian Inggiris dan Tuanku Tambusai demikian. Dengan alasan itu pula maka Belanda sengaja memperkecil arti dari Perang tersebut. Mereka hanya menyebut Ekspedisi Militer Belanda untuk menangkap Yang Dipertuan Nan Lobeh (Raja Lobi Raja Gunungtinggi) yang berani menghina Pemerintah Belanda. Demikian laporan Pemerintah Kolonial Belanda pada Tweede Kamer karena banyaknya pasukan Belanda yang mati dalam pertempuran itu. Dalam Kolonial Verslag tahun 1872 itu juga diakui di samping raja Gunungtinggi masih ada turut Raja-Raja lain melawan Belanda. Yang menghandle penyerangan ke Gunungtinggi adalah Pemerintah Kolonial Belanda dari sebelah Timur bukan Pemerintah Kolonial Belanda Bagian Barat yang berpusat di Padang. Demikian juga jalan yang ditempuh melalui Sungai Bilah bukan melalui Sungai Berumun. Begitupun istilah yang dipakai Perang Bilah, Perang Raja Bilah atau Perang Raja Lobi atau perang Pertuan Nan Lobeh. Itu semua adalah politik Belanda untuk memperkecilkan perang tersebut dan menghindarkan keterkaitan Tuanku Tambusai dan Padanglawas. Supaya Inggiris jangan ikut campur. Lamanya perang masih berlangsung 7 tahun lagi setelah Patuan Nan Lobi ditangkap Belanda, juga membuktikan kebohongan Belanda yang menyebut ekspedisi militer Belanda itu hanya untuk menangkap Pertuan Nan Lobeh (Patuan nana Lobi).
1880 - 1892 : Setelah Belanda memadamkan perlawanan Tuanku Tambusai kekuatan Tuanku Tambusai hancur lebur di Perang Padanglawas itu. Belanda telah menguasai Padanglawas dan Kampar sepenuhnya. Tidak ada lagi tempat untuk menyusun perlawanan terhadap Belanda di Padanglawas. Atas persetujuan Inggiris Tuanku Tambusai menyusun kekuatan di Malaysia. Raja Asal anak dari Tuanku Lelo yang mendirikan Padangsidempuan dan Ja Paruhum dari Hasahatan adik moyang Penulis dihubungi dan mereka bentuklah di sana Kontingen Mandailing.
: Ja Paruhum dan Ja Barumun adalah adik Raja Hasahatan yang membawa pasukan ke Gunungtinggi melawan Belanda. Sebagai bantuan dari Raja-Raja Hasibuan dari Barumun dan Sosa. Setelah Kontingen Mandailing dibentuk Tuanku Tambusai di Malaysia Tuanku Tambusai kembali ke Langkat. Di Malaysia beliau membuat kuburan palsu untuk megelabui Belanda sebutlah untuk menghilangkan jejak.
Setelah Tuanku Tambusai kembali ke Besilam Inggiris ingin mencoba pasukan yang dibentuk Tuanku Tambusai itu sebelum didrop ke Padanglawas.
Pada Perang Pahang Kontingen Mandailing berhasil memadamkan pemberontakan yang ada di sana. Tetapi pada Perang Selangor Kontingen Mandailing habis dibubur Pasukan Cina yang menyemut banyaknya itu, di Bukit Petaling.
Tengku Kuddin meminta bantuan Cina dan menjanjikan kalau dia menjadi Sultan di Selangor akan memberi Lumbong Timah yang ada di Selangor kepada Toke Cina yang membantu dia itu.
Pada waktu itu harga timah sangat tinggi, karena itu jadi rebutan.
7. LOKASI KUBURAN
Kuburan Tuanku Tambusai ada 7 (tujuh) tempat yang diketahui. Bukan tidak mungkin masih ada lagi yang tidak diketahui. Sebab demikianlah Tuanku Tambusai berusaha menghilangkan jejak dari pengejaran Belanda yang berkuasa.
Dari ketujuh kuburan tersebut tentunya hanya satu kuburan yang benar. Kuburan Tuanku Tambusai yang benar berlokasi di Besilam (Babussalam) Langkat.
Kuburan palsu yang enam lagi tersebar sampai ke Malaysia di tempat-tempat beliau pernah berdomisili. Terkecuali kuburannya yang terdapat di Pagaranbira, Kecamatan Sosopan Kabupaten Tapanuli Selatan. Kuburan Palsu yang di Pagaranbira itu dibuat Tuanku Tambusai sebagai tonggak pemisah. Pemisah antara beliau berjuang melawan Penjajah Belanda atas nama Padri dan berjuang melawan Penjajah Belanda atas nama sendiri sebagai orang Batak. Di bekas pertempuran melawan Belanda di Pagaranbira itulah semua yang berbau Minang dibuangnya. Seperti jabatannya Sri Pengampu kekuasaan Tertinggi Padri dibuat Tuanku Tambusai menjadi nama sungai di situ.
Sri Pengampu dalam bahasa Batak Sori Mangampu. Menjadi nama sungai yang mengalir dekat kuburan istrinya Aek Sori Mangampu dikenal orang sampai sekarang. Nama beliau Tuanku Tambusai dikuburkannya di situ dekat kuburan istrinya Srikandi Nan Duri Batang Sosa. Sejak itu beliau bernama Ompu Baleo.
Kuburan itulah dibuatnya sebagai batas pemisah. Batas pemisah dalam bahasa Minangkabau adalah Jirek. Batas pemisah antara manusia hidup dan mati adalah kuburan. Sehingga orang Minang ada juga mengertikan jirek itu dengan kuburan.
Jirek dibahasa Batakkan menjadi Jiret. Sehingga kuburan Palsu yang pertama di Pagaranbira itu dikenal kuburan na di di Jiret an.
Kuburan Palsu lainnya terdapat di Siborna, Sipagabu, Maranti Mangadop (Rimbo Mahato), Tanah Putih dan Malaysia.
Kelima lokasi kuburan Tuanku Tambusai tersebut adalah tempat di mana beliau pernah berdomisili.
Herannya semua kuburan beliau itu baik yang benar maupun yang palsu dikeramatkan orang.
Benar sekali ramalan beliau yang disebutnya beliau adalah "Manusia Na Sati Mangolu Na Kiramat Mate". Orang yang penuh wibawa semasa hidup yang dikiramatkan orang setelah mati.
Itulah Tuanku Tambusai alias Syekh Abd. Wahab Rokan Alkhalidi Naqsyabandi bukan saja Pahlawan Manusia, tetapi juga Pahlawan di mata Tuhan (Aulia). Karena menerima Anugerah Keistimewaan Luar Biasa dari Tuhan.
OLEH: IR. L. P. HASIBUAN
ARKIB : 09/04/2007
Tuanku Tambusai pejuang Melayu Riau
Oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah
NAMA beliau turut disentuh dalam kertas kerja saya pada seminar oleh keluarga Rao atau Rawa di Raub, Pahang dan artikel Syeikh Muhammad Murid Rawa, disiarkan Utusan Malaysia, bertarikh 19 Mac 2007.
Tidak ramai memahami bahawa ulama dan pahlawan ini telah menyemaikan benih anti penjajah. Beliau ikut dalam peperangan Imam Bonjol di Sumatera Barat. Akhirnya terpaksa hijrah ke Negeri Sembilan dan meninggal dunia di situ.
Wujud persamaan dengan Raja Haji berperang melawan Belanda bermula di Riau melalui Linggi, Rembau dan lain-lain di beberapa tempat dalam Negeri Sembilan akhirnya tewas di Melaka sebagai seorang syahid fi sabilillah. Oleh kerana Tuanku Tambusai meninggal dunia di Negeri Sembilan sedikit sebanyak tentu beliau telah menyemaikan benih berjuang kepada bangsa Melayu di Negeri Sembilan khususnya dan Semenanjung umumnya yang dijajah oleh Inggeris pada zaman itu.
Sejarah adalah penting perlu kita kaji dan perkenalkan kepada masyarakat luas. Ketika saya menghadiri seminar yang diadakan oleh keluarga Rao atau Rawa di Raub, Pahang, Ahad, 18 Mac 2007 M/28 Safar 1428 H yang lalu, di luar acara rasmi Tuan Mohd. Said bin Haji Mohd. Razi, Pengerusi dan Ketua Projek, Persatuan Sejarah Malaysia Cawangan Selangor menghadiahkan kepada saya sebuah buku berjudul, Sejarah Negeri Selangor, Dari Zaman Prasejarah Hingga Kemerdekaan, diterbitkan tahun 2005.
Manakala saya baca Perutusan Menteri Besar Selangor dan Kata Pengantar Persatuan Sejarah Malaysia Cawangan Selangor, saya simpulkan bahawa Kerajaan Negeri Selangor telah mengeluarkan dana yang besar untuk melakukan penyelidikan. Termasuk beberapa orang panel penulis ke tempat-tempat di Indonesia yang ada hubungan dengan Selangor. Saya berkesimpulan bahawa hampir semua tokoh, sama ada di Malaysia atau sebaliknya Indonesia termasuk Tuanku Tambusai, dan lain-lain mempunyai hubungan yang sangat erat.
Bahkan sejak lama serumpun Melayu sejagat selalu bekerjasama dalam gerakan dakwah Islam, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Jadi tidak hairanlah Tuanku Tambusai berkemungkinan sebab-sebab tertentu terpaksa berpindah dari Sumatera (beliau beroperasi di Minangkabau dan Riau) ke Negeri Sembilan.
PENDIDIKAN
Bermacam-macam ramalan sewaktu anaknya yang dinamakan Muhammad Shalih dilahirkan kerana pada waktu itu terjadi hujan ribut disambut kilat, guruh-petir sabung-menyabung. Tetapi kerana Imam Maulana Qadhi seorang alim yang terpelajar, yang faham akidah Islam beliau tolak sekalian ramalan yang bercorak khurafat secara bijaksana.
Bayi tersebut dipersembahkan kepada Duli Yang Dipertuan Besar Raja, Permaisuri Duli Yang Dipertuan Besar Raja berkata, “Kita doakan apabila dia alim nanti menjadi suluh dalam negeri. Kalau dia seorang berani menjadi pahlawan. Sekiranya dia kaya menjadi penutup malu. Sekiranya dia menjadi cerdik bijaksana adalah penyambung lidah untuk kebenaran dan keadilan." (Rokan Tuanku Tambusai Berjuang, H. Mahidin Said, cetakan kedua, hlm. 30).
Oleh sebab ayahnya seorang Imam Tambusai dan seorang alim sudah pasti Muhammad Shalih mendapat pendidikan awal dan asas daripada ayahnya sendiri. Sungguhpun ketika Muhammad Shalih meningkat dewasa beliau dihantar ke Rao yang lokasinya berdekatan dengan Tambusai. Setelah mendapat pendidikan Islam di Rao dan Bonjol beliau lebih dikenali dengan nama “Faqih Shalih”.
Menurut tradisi di daerah, apabila seseorang itu menguasai ilmu fikah maka dia digelar dengan “Faqih”. Ini bererti Muhammad Shalih sejak muda lagi telah diakui oleh masyarakat sebagai seorang yang alim dalam bidang ilmu fikah. Sudah menjadi lumrah dalam dunia dari dulu hingga kini ada saja raja atau umara (pemerintah) yang sepakat dengan ulama. Yang inilah yang dianjurkan oleh Rasulullah s.a.w. Ada pula antara umara yang tidak sepakat dengan ulama. Ulama yang masih muda bernama Faqih Shalih yang tersebut diriwayat memang bertentang dengan raja yang memerintah ketika itu.
Walau bagaimanapun Faqih Shalih meminta nasihat kepada dua orang ulama. Yang pertama ialah Tuanku Imam Bonjol (nama yang sebenarnya ialah Peto Syarif). Yang kedua ialah Tuanku Rao (nama yang sebenarnya dipertikai pendapat). Kedua-duanya menasihatkan supaya Faqih Shalih pergi haji ke Mekah. Sewaktu di Mekah, Faqih Shalih sempat memdalami ilmu di sana. Di antara ulama yang sedaerah dengannya (yang saya maksudkan berasal dari persekitaran Minangkabau, Tapanuli dan Riau) di antaranya ialah Syeikh Ismail bin Abdullah al-Khalidi an-Naqsyabandi dan lain-lain.
Beliau ini termasuk murid Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Dipercayai Faqih Shalih selama berada di Mekah sempat belajar kepada ulama yang berasal dari Patani itu.
Sebagaimana tulisan saya dalam kertas kerja seminar di Raub, Pahang bahawa sukar menjejaki yang bernama Muhammad Shalih itu, dalam zaman yang sama ada Muhammad Shalih bin Muhammad Murid Rawa dan ada pula Faqih Shalih sedang Tuanku Rao tidak diketahui nama sebenarnya. Ada pendapat bahawa Tuanku Rao seorang guru pada Faqih Shalih. Ada kemungkinan Tuanku Rao adalah orang tua (ayah Faqih Shalih).
Setelah kembali dari Mekah, Faqih Shalih lebih dikenali "Haji Muhammad Shalih". Dan selanjutnya dalam Perang Imam Bonjol atau Perang Paderi, beliau lebih dikenali sebagai "Tuanku Tambusai" selanjutnya digunakan nama ini.
Sudah menjadi sejarah perkembangan dunia bahawa sama ada disukai atau pun tidak, peperangan bila-bila masa boleh terjadi. Agama Islam bukanlah agama yang menganjurkan peperangan tetapi jika ada usaha-usaha agama selainnya menodai Islam maka konsep jihad memang sudah menjiwai hampir seluruh individu Muslim. Hal ini adalah hampir sama dengan jiwa kebangsaan individu sesuatu negara atau sesuatu bangsa bahawa hampir setiap individu dalam sesuatu negara adalah tidak suka negaranya dijajah.
Memperjuangkan sesuatu negara atau bangsa telah menjiwai setiap penduduk dunia sama ada yang beragama Islam dan agama-agama lainnya termasuk orang yang tidak beragama sekalipun. Oleh sebab Belanda telah menjajah Minangkabau, Sumatera Barat, maka adalah wajar rakyat bertindak melawan penjajah itu apatah lagi yang datang menjajah itu tidak seagama pula.
Tuanku Tambusai dan kawan-kawan bersamanya bergabung dalam satu wadah yang dinamakan "Kaum Paderi" yang dipimpin oleh Peto Syarif yang kemudian terkenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. Menurut buku, 101 Pahlawan Nasional, Departemen Sosial Republik Indonesia bahawa "Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai bekerjasama dalam perjuangan tetapi tidak bererti yang satu membawahi yang lain kerana mereka merupakan tokoh-tokoh yang otonom." (hlm. 517).
Perang paderi
Bunga api Perang Paderi mulai bertaburan pada tahun 1803 yang dihidupkan oleh Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Tiga Belas Koto dan Haji Piobang dari Tanah Datar. Kemunculan Tuanku Tambusai dengan pasukannya di bahagian utara terutama sekitar daerah Hulu Sungai Rokan menyebabkan Tuanku Imam Bonjol dapat bertahan dari serangan Belanda lebih lama kerana pasukan Tuanku Imam Bonjol posisinya di bahagian tengah. Taktik dan strategi perang diatur dua bahagian oleh Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai. Tuanku Rao melalui Padangsidempana dan Tuanku Tambusai melalui Padanglawas, Gunung Tua, Bilah Panai berhimpun di Sipiruk. Pada mulanya Belanda telah menguasai Bonjol pada bulan September 1832 akhirnya terpaksa keluar pada Januari 1833 akibat serangan Kaum Paderi yang diperanani oleh Tuanku Tambusai.
Dalam perang melawan penjajah Belanda itu di antara jasa besar Tuanku Tambusai, beliau dapat menyatupadukan tiga etnik iaitu Minangkabau/Rao, Melayu dan Mandailing. Bahawa mereka bersatu tekad dan semangat bumi pusaka bukan milik bangsa penjajah. Bumi ini adalah kepunyaan bangsa kita yang beragama Islam.
Membela agama Islam dan tanahair adalah wajib. Menang dalam peperangan bererti mencapai kemerdekaan. Jika mati dalam perjuangan adalah mati syahid. Menang bererti beruntung. Jika mati pun beruntung juga. Orang yang tidak mengenal bangsa, tanahair dan Islam agamanya, yang tiada perjuangan itulah yang sebenar-benar rugi pada hakikatnya.
Apabila kita menoleh zaman lampau etnik yang tersebut mendiami daerah yang sangat luas, yang pada masa ini terbahagi dalam tiga daerah iaitu; daerah Sumatera Barat majoriti penduduknya ialah Minangkabau, daerah Riau Daratan majoriti penduduknya ialah Melayu dan daerah Sumatera Utara majoriti penduduknya ialah Batak dan yang beragama Islam mempunyai nama tersendiri iaitu Mandailing.
Daripada rakaman ini kita dapat membayangkan bahawa Tuanku Tambusai mempunyai kehebatan atau kekuatan yang tersendiri sehingga beliau dapat menyatupadukan etnik dalam bumi yang demikian luas itu. Setelah banyak mengapai kemenangan dan keberhasilan perjuangan, Tuanku Tambusai menjadikan pusat perjuangan, pentadbiran dan pertahanan di Dalu-Dalu (sekarang dalam daerah Riau Daratan).
Bertahan
Sampai tahun 1838 Tuanku Tambusai masih tetap bertahan sehingga Belanda tidak dapat masuk ke Inderagiri Hulu (Riau Daratan). Tuanku Tambusai adalah seorang ulama dan pahlawan yang berpendirian keras tidak mahu berunding dengan pihak penjajah Belanda. Beliau faham benar bahawa berunding dengan pihak penjajah Belanda bererti menyerah diri atau terperangkap dengan umpan lazat yang disediakan pemburu.
Sudah banyak contoh yang beliau bandingkan seumpama Tuanku Imam Bonjol sendiri terkorban bukan sebagai syahid di medan peperangan tetapi adalah tertipu kelicikan pihak penjajah Belanda. Tuanku Tambusai berpendirian terus berjuang sekiranya tidak berhasil hijrah ke Negeri Sembilan beliau memilih jalan terakhir iaitu mati sebagi syahid lebih utama daripada berunding apatah lagi menyerah kepada pihak musuh.
Pendirian keras Tuanku Tambusai seperti tersebut itu ada orang yang tidak menyetujui dan ramai pula yang menyetujuinya. Jika kita teliti sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia secara keseluruhan pendirian Tuanku Tambusai itu ada benarnya. Kerana hampir semua pemimpin yang mahu berunding dengan penjajah Belanda adalah merugikan pemimpin pejuang. Yang untung adalah pihak Belanda sendiri.
Semua pemimpin yang menerima perundingan ditangkap akhirnya dibuang keluar dari negeri asalnya. Peristiwa Tuanku Tambusai dapat kita bandingkan dengan peristiwa dunia antarabangsa sekarang ini, ada negara yang tidak menerima perundingan dengan Amerika seperti Iran tentang isu nuklear. Ada negara menerima perundingan tetapi tidak mudah menerima tipu helah Amerika seperti Korea Utara. Iraq akhirnya menerima perundingan. Apa jadinya? Hanyalah merugikan Iraq sendiri menjadi negara yang dijajah oleh Amerika dan sekutu-sekutunya.
Pengorbanan tenaga, harta dan pemikiran Tuanku Tambusai adalah besar, kecuali jiwa dan raganya saja dapat berhijrah ke Negeri Sembilan. Peristiwa beliau hampir serupa dengan gurunya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dalam perang Patani melawan pencerobohan Siam bahawa beliau hijrah ke Pulau Duyung Kecil, Terengganu. Hijrah seseorang tokoh atau ulama bukan bererti lari tetapi bertujuan menyusun taktik dan strategi untuk mencapai kemenangan yang diredai Allah di dunia dan akhirat. Dengan tidak menafikan perjuangan Tuanku Tambusai beliau telah diberi gelaran, ‘Pahlawan Nasional Republik Indonesia’ dengan SK. No. 071/TK/Tahun 1995, Tanggal 7 Ogos 1995.
Untuk maklumat lanjut mengenai Ulama Nusantara, sila e-mel pertanyaan ke alamat: pengkaji_khazanah @yahoo.com atau hubungi talian 03-6189 7231.
Harimau Paderi dari Rokan
Dibaca: 7024 | Suara: 0 Favorit: 0 | Komentar: 0 ? 0.00% Social URL: tokoh.in/1180 ? Print Bio Kutip
Tuanku Tambusai | e-ti | rpr Tokoh Paderi ini sangat ditakuti oleh Belanda karena memporak-porandakan pasukan Belanda dalam rentang 15 tahun. Pasukan Belandapun menyebutnya harimau Paderi dari Rokan.
Tuanku Tambusai
Memimpin paderi, 1832 Silakan Login untuk melihat CV Lengkap
Tutup Curriculum Vitae (CV) Tuanku Tambusai
Sebagai seorang ulama besar ia telah menunaikan kewajibannya. Keberadaannya sebagai pejuang pembela tanah air yang gigih dan pantang menyerah selalu dihargai masyarakat sekitar, mereka pun tak segan membantu. Meskipun harus hidup dalam pengasingan, ia tak mau tunduk pada perintah Belanda.
Tuanku Tambusai lahir di Dalu-dalu, Kabupaten Kampar, Riau pada 5 Oktober 1784 dari pasangan Ibrahim dan Munah. Ayahnya, seorang pejabat tinggi agama di kerajaan Tambusai. Sebagai seorang pemuka agama Islam, ia mengajarkan pendidikan agama kepada anak-anaknya dengan penuh kedisiplinan.
Tuanku Tambusai yang awalnya dikenal dengan nama Muhammad Saleh ini juga diajari beladiri, termasuk ketangkasan menunggang kuda sejak usianya masih belia. Bukan hanya beladiri dan menunggang kuda, tata cara bernegara pun dipelajarinya dengan tekun.
Untuk lebih memdalami ilmu agamanya, Muhammad Saleh pergi menuntut ilmu ke Bonjol (sekarang Sumatera Barat) kemudian pindah lagi ke Rao. Di sana ia berguru pada beberapa ulama dan berkenalan dengan tokoh paderi, Tuanku Imam Bonjol.
Saat itu Minangkabau merupakan tempat terdekat dengan Tambusai yang berusaha memurnikan kembali ajaran agama di daerah itu. Untuk mencapai lokasi tersebut, Saleh harus menempuh 2 hari perjalanan dengan berjalan kaki.
Kemasyuran ulama besar seperti Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang, dan Tuanku Nan Renceh, juga terdengar hingga ke wilayah Tambusai. Namun tidak ada pertentangan antara kaum adat dengan kaum Paderi. Berkat ketekunan belajarnya, Muhammad Saleh menjadi seorang paderi bergelar fakih.
Kemudian ia mendapat tugas menyebarkan dakwah ke daerah yang paling rawan waktu itu, yaitu Toba (sekarang Sumatera Utara) yang sebagian besar penduduknya menganut kepercayaan pelbegu. Ketika berdakwah di daerah itu, ia difitnah ingin merombak adat nenek moyang orang Batak. Karena fitnah itu ia merasa nyawanya terancam.
Merasa Toba sudah tak aman baginya, ia pun memutuskan kembali ke Rao (sekarang Sumatera Barat). Di sana ia menyiarkan agama Islam bersama Tuanku Rao ke berbagai pelosok seperti Airbangis dan Padanglawas kemudian ia mendirikan pesantren di kampungnya, Dalu-dalu.
Gelar Tuanku pun disandangnya karena tingkat keilmuannya yang tinggi dalam bidang agama. Dengan gelar itu ia ditugasi sebagai Panglima Paderi di Rao. Tuanku Tambusai, selain seorang panglima, ia juga merupakan salah seorang dari empat orang paderi yang berangkat ke Mekah di tahun 1820-an untuk mempelajari perkembangan pemikiran Islam di Tanah Suci.
Di berbagai tempat yang sekarang termasuk dalam administratif Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara ia mengadakan perlawanan terhadap penjajah. Dalam Perang Paderi (1821-1830), Tuanku Tambusai membawa pasukan yang beroperasi di bagian utara Sumatera Barat. Kemudian mengawali penyerangan terhadap Inggris di Natal ( Sumatera Utara) pada tahun 1823.
Pada akhir tahun 1826, tentara Belanda tidak bisa dengan tenang masuk ke wilayah Natal karena dihadang oleh Tuanku Tambusai. Meskipun Natal sudah diserahkan Inggris ke tangan Belanda sesuai dengan Traktat London 1824.
Pada tahun 1830, Tuanku Tambusai bergabung dengan pasukan Rao setelah mengamankan wilayah Natal-Airbangis. Dengan cepat ia memimpin kekuatan di Dalu-dalu (Riau), Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, Mandailing, Pangkalpinang dan Natal. Tuanku Tambusai dan Rao kemudian mendirikan benteng yang terdiri dari tujuh lapis bambu terletak di Dalu-dalu. Namun pada September 1832, benteng itu jatuh ke tangan Belanda. Tuanku Tambusai memboyong pasukannya ke Tapanuli Selatan. Setelah Tuanku Rao gugur dalam pertempuran di Airbangis, praktis Tuanku Tambusailah yang memimpin pasukan Paderi di bagian utara Sumatera Barat.
Setelah Belanda mengangkat Tuanku Mudo (anak Tuanku Imam Bonjol) menjadi Regent Bogor, Tuanku Tumbasai sempat memimpin paderi pada tahun 1832. Dalam rentang waktu 15 tahun, tokoh paderi ini memporak-porandakan pasukan Belanda sehingga musuh berkali-kali harus meminta bantuan dari Padang dan Batavia. Pada tahun 1834, ia mulai mendirikan serangkaian benteng di Dalu-dalu.
Sebagai tokoh paderi, penampilannya tak selalu dengan baju putih dan tidak pula memelihara janggut sebagaimana paderi-paderi lainnya. Ia merupakan ancaman yang cukup serius bagi Belanda. Peranannya dalam mengurangi tekanan Belanda terhadap pertahanan utama Paderi di Bonjol sangat besar.
Pada tahun 1835, pasukannya mengepung kedudukan Belanda di Rao dan Lubuk Sikaping sehingga pasukan Belanda antara satu tempat dan tempat lain terputus. Adakalanya ia menyerang pos-pos militer Belanda di Tapanuli Selatan sehingga kekuatan Belanda yang mengepung Bonjol menjadi terpecah. Namun, pada Agustus 1837, Bonjol jatuh ke tangan Belanda.
Ia juga terkenal dengan kecerdikannya, hal itu terbukti dengan dihancurkannya benteng Belanda Fort Amerongen. Meskipun tak berlangsung lama, Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda dapat direbut kembali. Karena keberaniannya itu, ia dijuluki sebagai de padrische van Rokan yang berarti harimau Paderi dari Rokan oleh Belanda.
Dalam perjuangannya ia tak hanya berhadapan dengan Belanda, namun juga saudara sebangsanya yang lebih memilih untuk berpihak kepada Belanda seperti Raja Gedombang (Regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo (bekas tentara Sentot Alibasyah).
Tuanku Tambusai berusaha membujuk serdadu Belanda asal Jawa untuk membantu perjuangan karena dalam pertempuran di Lubukhari tahun 1833, Belanda menggunakan para wanita setempat sebagai tameng. Solidaritas agama pun ia manfaatkan guna mendukung perjuangannya. Sayangnya Belanda mengetahui upaya tersebut. Akan tetapi sebanyak 14 orang serdadu Belanda asal Jawa sempat bergabung dengan Tuanku Tambusai.
Dalam perang paderi, Tuanku Tambusai merupakan sosok pemimpin terkemuka. Kehadirannya selalu diterima oleh penduduk di daerah yang dikunjunginya. Hal itu tercermin dari sejumlah gelar yang disandangnya, seperti Ompu Bangun, Ompu Cangangna, Ompu Sidoguran dan Ompu Baleo. Ketika pemimpin Fort Amerongen menawarkan perdamaian padanya, ajakan itu ditolaknya mentah-mentah. Hal tersebut menunjukkan keteguhannya dalam menjaga prinsip. Hal serupa juga terjadi pada tahun 1832, saat itu Letkol Elout mengajaknya berdamai di Padang Matinggo, Rao. Dengan tegas ia berpesan pada Elout agar tidak mencampuri urusan dalam negeri orang lain. Mendengar hal itu, Elout membalasnya dengan mengatakan bahwa di mana ada Belanda di sana ia membuat kuburan. Dengan lantang Tuanku Tambusai menjawab "Jika begitu sediakan bedil!"
Pada awal tahun 1838, pasukan Belanda menyerang Dalu-dalu dari dua arah, yakni Pasir Pengarayan dan dari Tapanuli Selatan. Serangan itu gagal karena Tuanku Tambusai sudah mendirikan benteng berlapis-lapis. Serangan berikutnya dilancarkan Belanda pada Mei 1838. Beberapa benteng dapat mereka rebut, namun Belanda memerlukan waktu beberapa bulan lagi sebelum perlawanan Tuanku Tambusai dapat mereka akhiri. Pada 28 Desember 1838, benteng pertahanan terakhir di Dalu-dalu jatuh ke tangan Belanda. Namun ia berhasil meloloskan diri dari kepungan Belanda dan para sekutu-sekutunya lewat pintu rahasia.
Di sungai Rokan ditemukan sampan kecil milik Tuanku Tambusai bersamaan dengan barang-barang miliknya seperti cincin stempel, Al-Quran, serta beberapa buah buku yang dibawanya dari Mekkah.
Di usianya yang telah cukup renta, 98 tahun, ia kemudian mengungsi ke Seremban, Malaysia. Ia meninggal dunia pada 12 November 1882 di Negeri Sembilan, Malaysia.
Atas jasa-jasanya pada negara, Tuanku Tambusai diberi gelar pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 071/TK/Tahun 1995, tanggal 7 Agustus 1995. e-ti
Syeikh Baha-ud-Din Naqshband Bukhari (1318 – 1389) adalah pendiri tariqat Naqsyabandi, yang merupakan salah satu tariqat yang cukup besar dan berpengaruh dalam gerakan Tasawuf.
Riwayat Hidup
Tidak banyak informasi yang boleh di rungkai dari kehidupannya. Perkara ini tidaklah menghairankan, kerana semasa hidupnya, beliau melarang para pengikutnya untuk mencatat segala perilaku mahupun ucapan-ucapannya. Banyak tulisan di rangkai setelah ia wafat. Syeikh Baha-ud-Din dilahirkan pada tahun 1318 di desa Qasr-i-Hinduvan (yang kemudian bernama Qasr-i Arifan) dekat Bukhara, yang juga merupakan tempat di mana beliau wafat pada tahun 1389.
Sebahagian besar masa hidupnya dihabiskan di Bukhara, Uzbekistan serta daerah-daerah yang berdekatan, Transoxiana. Ini dilakukan untuk menjaga prinsip "melakukan perjalanan di dalam negeri", yang merupakan salah satu bentuk "laku" seperti yang ditulis oleh Omar Ali-Shah dalam bukunya "Ajaran atau Rahsia dari Tariqat Naqsyabandi". Perjalanan jauh yang dilakukannya hanya pada waktu ia menjalankan ibadah haji dua kali.
Dari awal, beliau memiliki kaitan erat dengan Khwajagan, iaitu para guru dalam mata rantai Tariqat Naqsyabandi. Sejak masih bayi, beliau telah dididik dan dipelihara sebagai anak kerohanian oleh salah seorang dari mereka, iaitu Baba Muhammad Sammasi. Sammasi merupakan pemandu pertamanya dalam jalur ini, dan yang lebih penting lagi adalah hubungannya dengan penerus (khalifah) Sammasi, iaitu Amir Kulal, yang merupakan rantai terakhir dalam salasilah sebelum Baha-ud-Din. Baha-ud-Din mendapat pendidikan awal dalam jalur ini dari Amir Kulal, yang juga merupakan sahabat dekatnya selama bertahun-tahun.
Pada suatu saat, Baha-ud-Din mendapat instruksi secara "rohani" oleh Abdul Khaliq Gajadwani (yang telah meninggal secara jasmani dan senyap-senyap) ketika melakukan zikir secara hening (tanpa suara). Meskipun Amir Kulal adalah keturunan kerohanian dari Abdul Khaliq, Amir Kulal telah mempraktikkan zikir yang dilakukan dengan bersuara. Setelah mendapat petunjuk mengenai zikir diam tersebut, Baha-ud-Din lantas tidak menghadirkan diri dalam kelompok ketika mereka mengadakan zikir secara bersuara.
Pisahnya Baha-ud-Din dari lingkaran kelompok Amir Kulal ini mungkin boleh dianggap sebagai penanda wujudnya Tariqat Naqsyabandi, yang ajarannya diambil dari Abdul Khaliq, hujung keturunannya berasal dari Khalifah Abu Bakar yang diperoleh dari Nabi Muhammad SAW. Syeikh Baha-ud-Din Naqshband wafat dan dimakamkan di desa asalnya pada tahun 1389. Makamnya merupakan salah satu tempat yang banyak dikunjungi oleh penziarah dan pelancong di Bukhara
Kaum Padri tidak menentang praktek-praktek ziarah ke kubur seperti yang dilakukan gerakan Wahabi. Kemudian, kaum Padri pun dalam prakteknya masih ikut merayakan peringatan Maulid Nabi SAW…
Secara umum, para pemerhati sejarah Islam di Indonesia menyebut gerakan Padri itu sebagai gerakan Wahabi atau—kalau tidak—sebagai “kegiatan ikut-ikutan” gerakan Wahabi—seperti yang diistilahkan Mangaradja Onggang Palindungan dan Hamka. Akan tetapi, jarang orang mengetahui bahwa yang pertama kali menduga—tetapi kemudian justru diikuti banyak orang untuk mengecap—gerakan Padri itu sebagai gerakan Wahabi adalah Pieter Johannes Veth (1814 – 1895).
Veth dikenal sebagai seorang ahli bahasa dan kebudayaan Timur. Ia menguasai bahasa Ibrani (Yahudi dan Arab), Latin-Yunani, Melayu-Jawa. Meski belum pernah satu kali pun datang ke kepulauan Nusantara waktu itu, Veth telah dipercaya mengajar calon-calon pegawai pemerintah kolonial yang akan ditempatkan di Sumatera, Jawa dan pulau-pulau taklukan Belanda di Nusantara. Karya besarnya adalah Java: Geograpisch, Etnologisch, Historisch yang terdiri dari empat jilid.
Veth melihat ada kesamaan antara gerakan Padri itu dan gerakan Wahabi di Jazirah Arab. Menurutnya, kesamaan itu berupa penggunaan metode kekerasan untuk mencapai tujuan. Dugaan seperti ini dikemukakan Veth dalam “Kata Pengantar” buku yang dikarang H.J.J. Ridder de Stuers, seorang pensiunan pejabat militer yang pernah diangkat pemerintah Hindia Belanda sebagai residen di Sumatera Barat pada 1825 – 1830.
Dugaan Veth itu kemudian ditolak tegas-tegas oleh Bertran Johannes Otto Schrieke (1890 – 1945), penulis Indonesian Sociological Studies. Menurut Schrieke, ada beberapa alasan yang membuat gerakan Padri tidak bisa disamakan dengan gerakan Wahabi. Pertama, kaum Padri tidak menentang praktek-praktek ziarah ke kubur seperti yang dilakukan gerakan Wahabi. Kemudian, kaum Padri pun dalam prakteknya masih ikut merayakan peringatan Maulid Nabi, sebuah bid’ah yang sangat ditentang oleh Muhammad bin Abdil Wahhab dan para pengikutnya.
Berbeda dengan gerakan Wahabi di Jazirah Arab yang berada di bawah satu kepemimpinan, Schrieke mencatat, gerakan Padri di Sumatera Barat terpecah-pecah di bawah banyak pimpinan. Ironisnya, antara satu pemimpin dan pemimpin yang lain sering terjadi pertikaian. Salah seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda yang pernah tahu hal itu sempat mengeluhkan akibat pertikaian itu. Jika satu perjanjian telah diteken oleh salah seorang pemimpin Padri, katanya, bukan berarti persetujuan itu juga persetujuan pemimpin-pemimpin Padri yang lain.
Sanggahan Schrieke itu bukan omong kosong belaka. Dalam buku-buku sejarah yang umum kita temui, akan tampak bagi kita bahwa gerakan Padri tidak sama sekali konsisten dengan cara beragama yang didakwahkan oleh Muhammad bin Abdil Wahhab dan para pengikutnya. Bahkan, deskripsi tentang gerakan Padri sebelum tahun 1833 adalah sebuah deskripsi tentang kebrutalan segerombolan orang berjubah dan bersorban dalam memaksakan satu prinsip agama.
Dalam Sejarah Nasional Indonesia: Jilid IV, misalnya, salah seorang di antara tiga haji itu, Haji Miskin, diceritakan membakar balai sabung ayam milik warga setempat sebagai balasan atas tindakan mereka yang tidak menggubris nasehatnya agar tidak melakukan perjudian lagi. Tindakan itu segera menjadi bumerang buatnya. Masyarakat pun marah dan berusaha menangkapnya
Misal yang lain, pada 1815 kaum Padri mengumpulkan keluarga kerajaan Pagaruyung di tempat yang bernama Batu Sangka. Di tempat itu, kaum Padri menghabisi hampir semua anggota kerajaan itu. Di sini, kaum Padri pun tampak semacam kelompok yang mudah menghalalkan darah kaum muslimin lain hanya karena berbeda pendapat.
Harus diakui bahwa selama ini penulisan sejarah tentang gerakan kaum Padri banyak didasarkan pada catatan-catatan pejabat pemerintah Hindia Belanda yang pernah bertugas di Sumatera Barat, baik ketika masih terjadi Perang Padri maupun setelahnya. Sebagai misal adalah catatan H.J.J.L. de Stuers yang diterbitkan sebagai De Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra di Amsterdam pada 1849 – 1850.
Selain itu, penulisan sejarah gerakan Padri juga banyak bersandar pada “Surat Keterangan dari pada Saya Fakih Saghir ‘Ulamiah Tuanku Samiang Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo,” sebuah catatan otobiografis yang ditulis oleh Syekh Jalaluddin. Terkait dengan gerakan Padri, Jalaluddin menjadi salah satu pihak yang menentang dan mengkritik kaum Padri. Sebagai misal adalah ketika menulis,
“Adapun yang baik sebalah Tuanku2 Pedari ialah mendirikan sembahyang dan mendatangkan zakat dan puasa pada bulan Ramadan, dan naik haji atas kuasa, dan berbaiki mesjid dan berbaiki labuh tepian, dan memakai rupa pakaian yang halal, dan menyuruhkan orang menuntub ilmu, dan berniaga. Adapun sekalian yang jahat daripada Tuanku Paderi menyiar membakar, dan menyahkan orang dalam kampungnya, dan memunuh orang dengan tidak hak, yaitu memunuh segala ulama, dan memunuh orang yang berani2, dan memunuh orang yang cerdik cendaki, sebab ber’udu atau khianat, dan merabut dan merampas, dan mengambil perempuan yang bersuami, dan menikahkan perempuan yang tidak sekupu (sederajat) dengan tidak relanya, dan menawan orang dan berjual dia, dan bepergundi’ (mempergundik) tawanan, dan menghinakan orang yang mulia2, dan menghinakan orang tuha, dan mengatakan kafir orang beriman, dan mencala dia.”
Hanya Naskah Tuanku Imam Bonjol yang dapat menjadi pembanding buat kita. Naskah yang dimaksud berisi ringkasan sejarah Minangkabau pada abad ke-19 M dan hampir menjadi satu-satunya catatan sejarah yang ditulis orang pribumi. Bagian pertama naskah itu berisi memoar Tuanku Imam Bonjol yang dibawa pulang dari tanah pembuangan oleh putranya, Sutan Saidi. Bagian kedua berisi memoar salah seorang putra Imam Bonjol yang lain, Naali Sutan Caniago, yang pernah berperang di samping ayahnya. Bagian ketiga hanya berisi dua notulen rapat yang diadakan di dataran tinggi Minangkabau pada 1865 dan 1875.
Dalam salah satu bagian naskah itu, Tuanku Imam Bonjol (1772 – 1864) menyadari sebuah kekeliruan fatal dalam gerakan Padri. Ketika itu, memang, sudah banyak korban yang jatuh di tengah penduduk pribumi. Dalam perenungannya, ia akhirnya menyimpulkan dan kemudian menyampaikannya di depan para penasehatnya, “Adapun hukum kitabullah banyaklah nan terlampau dek (baca: terabaikan) oleh kita. Itu pun bagaimana pikiran kita?”
Sebagai buntut penyesalan itu, Imam Bonjol membekali Tuanku Tambusai, Fakih Muhammad dan dua orang pengikutnya yang lain untuk pergi berhaji ke Makkah sekaligus mencari kejelasan di sana. Pada 1832, empat orang utusan itu kembali dan membawa kabar tentang penyerbuan Nejed oleh pasukan Mesir yang diutus Sultan Turki Utsmani. Para pengikut Muhammad bin Abdil Wahhab telah ditaklukkan secara brutal oleh Turki Utsmani.
Mengetahui kabar seperti itu, Imam Bonjol mengadakan pertemuan penting, masih pada 1832 itu juga. Di tengah para tuanku, hakim-hakim syariat dan penghulu-penghulu, Imam Bonjol mengumumkan semacam gencatan senjata. Semua harta rampasan turut dikembalikan.
Lebih dari itu, Imam Bonjol menarik diri dari segala bentuk keyakinan yang pernah ia pegang. Ia juga menginsafi segala keinginannya untuk ikut-campur dalam wewenang adat dan meminta maaf kepada para pemuka adat yang telah banyak dirugikan. Kepada pemerintah Hindia Belanda, ia menawarkan keinginan untuk berdamai.
Semua itu terjadi jauh sebelum penangkapannya. Imam Bonjol sendiri baru ditangkap pemerintah Hindia Belanda pada 1838, setelah terjadi perang besar-besaran antara pasukan Belanda dan rakyat Minangkabau. Setahun kemudian Imam Bonjol dibuang ke Ambon dan pada 1841 dipindahkan ke Manado. Ia meninggal-dunia di pembuangan pada 1864 sebagai seorang laki-laki tua yang bercocok-tanam di sebidang tanah kecil.
Sebelum meninggal-dunia, Imam Bonjol sempat berwasiat kepada putranya. “Akui hak para penghulu adat,” pesannya.“Taati mereka. Kalau ini tidak bisa ditaati, maka ia bukan penghulu yang benar dan hanya memiliki gelar saja. Sedapat mungkin, setialah pada adat. Dan kalau pengetahuannya belum cukup, pelajarilah dua puluh sifat-sifat Allah”.
Tuanku Tambusai Pahlawan nasional, lahir pada 5 November 1784 di Dalu-dalu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Nama kecilnya Muhammad Saleh, putra pejabat tinggi agama di Kerajaan Tambusai. Selain pada ayahnya, ia juga belajar ilmu agama pada beberapa ulama di Sumatera Barat. Pada waktu itulah ia berkenalan dengan tokoh Padri, Tuanku Imam Bonjo!. Pada waktu kaum Padri berperang melawan Belanda, Tuanku Tambusai membentuk pasukan yang beroperasi di bagian utara Sumatera Barat. Mula-mula ia bergabung dengan Tuanku Rao. Mereka mendirikan benteng pertahanan di Rao. Pada bulan September 1832 benteng itu jatuh ke tangan Belanda. Ia membawa pasukannya ke Tapanuli Selatan. Setelah Tuanku Rao gugur dalam pertempuran di Airbangis, praktis Tuanku Tambusailah yang memimpin pasukan Padri di bagian utara Sumatera Barat. Pada tahun 1834 ia mulai mendirikan serangkaian benteng di Dalu-dalu.
Tuanku Tambusai merupakan ancaman yang cukup serius bagi Belanda. Peranannya dalam mengarungi tekanan Belanda terhadap pertahanan utama Padri di Bonjol sangat besar. Pada tahun 1835 pasukannya mengepung kedudukan Belanda di Rao dan Lubuk Sikaping sehingga hubungan pasukan Belanda antara satu tempat dan tempat lain terputus. Adakalanya ia menyerang pos-pos militer Belanda di Tapanuli Selatan sehingga kekuatan Belanda yang mengepung Bonjol menjadi terpecah. Namun, pada bulan Agustus 1837 Bonjol jatuh ke tangan Belanda.
Walau Bonjol jatuh, tapi Belanda belum merasa aman sebelum perlawanan Tambusai diakhiri. Pada awal tahun 1838 pasukan Belanda menyerang Dalu-dalu dari Pasir Pengarayan dan Tapanuli Selatan. Serangan itu gagal, Tuanku Tambusai sudah mendirikan benteng berlapis-lapis. Serangan berikutnya dilancarkan Belanda bulan Mei 1838. Beberapa benteng dapat mereka rebut, namun Belanda memerlukan waktu beberapa bulan sebelum perlawanan Tambusai dapat diakhiri. Pada 28 Desember 1838, benteng utama Dalu-dalu jatuh ke tangan Belanda, tapi Tambusai berhasil meloloskan diri ke Malaysia. Ia meninggal 12 November 1882 di Negeri Sembilan, Malaysia. Kehebatan perlawanan Tuanku Tambusai diakui oleh pihak Belanda. Mereka menyebut Tuanku Tambusai sebagai Harimau Padri dari Rokan.
Tuanku Imam Bonjol (TIB) (1722-1864), yang diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkam SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, 6 November 1973, adalah pemimpin utama Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837) yang gigih melawan Belanda. Selama 62 tahun Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir di ruang publik bangsa: sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan di lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.
Namun, baru-baru ini muncul petisi, menggugat gelar kepahlawanannya. TIB dituduh melanggar HAM karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak (1816-1833) yang menewaskan “jutaan” orang di daerah itu (http://www.petitiononline. com/bonjol/petition.html).
Kekejaman Paderi disorot dengan diterbitkannya buku MO Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (2006) (Edisi pertama terbit 1964, yang telah dikritisi Hamka, 1974), kemudian menyusul karya Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (2007).
Kedua penulisnya, kebetulan dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek moyangnya dan orang Batak umumnya selama serangan tentara Paderi 1816-1833 di daerah Mandailing, Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober 2007).
Mitos kepahlawanan
Munculnya koreksi terhadap wacana sejarah Indonesia belakangan ini mencuatkan kritisisme terhadap konsep pahlawan nasional. Kaum intelektual dan akademis, khususnya sejarawan, adalah pihak yang paling bertanggung jawab jika evaluasi wacana historis itu hanya mengakibatkan munculnya friksi di tingkat dasar yang berpotensi memecah belah bangsa ini.
Ujung pena kaum akademis harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya seyogianya tidak mengandung “hawa panas”. Itu sebabnya dalam tradisi akademis, kata-kata bernuansa subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis.
Setiap generasi berhak menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri. Namun, generasi baru bangsa ini—yang hidup dalam imaji globalisme—harus menyadari, negara-bangsa apa pun di dunia memerlukan mitos-mitos pengukuhan. Mitos pengukuhan itu tidak buruk. Ia adalah unsur penting yang di-ada-kan sebagai “perekat” bangsa. Sosok pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja XII, juga TIB, dan lainnya adalah bagian dari mitos pengukuhan bangsa Indonesia.
Jeffrey Hadler dalam “An History of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and Uses of History” (akan terbit dalam Journal of Asian Studies, 2008) menunjukkan, kepahlawanan TIB telah dibentuk sejak awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga kepentingan.
Pertama, menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana historis pemersatu bangsa.
Kedua, mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya.
Ketiga, “merangkul” kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI.
Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan TIB dan tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai pahlawan nasional.
Kita juga tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan beberapa kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan menyerang beberapa kerajaan tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan akibat kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu.
Bukan manusia sempurna
Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau dan Mandailing atau Batak umumnya.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena “diundang” kaum Adat.
Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut “mengundang” sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Agama melawan Belanda. Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)— transliterasinya oleh Sjafnir Aboe Nain (Padang: PPIM, 2004), sebuah sumber pribumi yang penting tentang Perang Paderi yang cenderung diabaikan sejarawan selama ini—mencatat, bagaimana kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda.
Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau sendiri.
Dalam MTIB, terefleksi rasa penyesalan TIB atas tindakan kaum Paderi atas sesama orang Minang dan Mandailing. TIB sadar, perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. “Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita. Bagaimana pikiran kita?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), tulis TIB dalam MTIB (hal 39).
Penyesalan dan perjuangan heroik TIB bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)—seperti rinci dilaporkan De Salis dalam Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; Sebuah Publikasi Sumber] (2004): 59-183—mungkin dapat dijadikan pertimbangan untuk memberi maaf bagi kesalahan dan kekhilafan yang telah diperbuat TIB.
Kini bangsa inilah yang harus menentukan, apakah TIB akan tetap ditempatkan atau diturunkan dari “tandu kepahlawanan nasional” yang telah “diarak” oleh generasi terdahulu bangsa ini dalam kolektif memori mereka. (Kompas 10/11/2007 Oleh Suryadi, Dosen dan Peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Universiteit Leiden, Belanda).
Majalah Tempo 21 Oktober 2007 memuat ".petisi ini mendesak Pemerintah Indonesia untuk membatalkan pengangkatan Tuanku Imam Bonjol sebagai pahlawan perjuangan kemerdekaan Imam Bonjol adalah Pimpinan Gerakan Wahabi Paderi. Gerakan ini memiliki aliran yang sama dengan Taliban dan Al-Qaida. Invasi Paderi ke tanah Batak menewaskan ribuan orang". Dibagian lain pada halaman 56 dikatakan "pakaian mereka serba putih". Persenjataannya cukup kuat. Mereka menurut Parlindungan, memiliki meriam 88 militer bekas milik tentara Napoleon yang dibeli second hand di Penang. Dua perwira Paderi dikirim belajar di Turki. Tuanku Rao, yang aslinya seorang Batak bernama Pongki Nangol-ngolan Sinambela, dikirim untuk belajar taktik Kavaleri. Tuanku Tambusai, aslinya bernama Hamonangan Harahap, belajar soalperbentengan. Pasukan Paderi juga memiliki pendidikan militer di Batusangkar. Penulis menilai, petisi dan statemen diatas sangat sensitive dan berbahaya. Disayangkan dimuat Majalah Tempo, Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan 1964 mengarang sebuah buku berjudul " Tuanku Rao"yang selanjutnya disanggah Hamka (1974) dalam bukunya berjudul " Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao" setebal 364 halaman. Hamka menuding isi buku Parlindungan ini 80 persen bohong, sedangkan sisanya diragukan kebenarannya. Pasalnya setiap kali Hamka menanyakan data buku ini, Parlindungan selalu menjawab "sudah dibakar". Selain itu Hamka pada halaman 64 mempertanyakan kebenaran berbagai isu yang dilontarkan Parlindungan. Isu yang cukup sensitive pernyataan selama 300 tahun Minangkabau telah menganut mazhab Syiah Qaramithah. Hal ini menurut Hamka dusta besar. Alasan untuk pemurnian Islam di Minangkabau ini disebut Parlindungan sebagai pembantaian bagi pengikut Syiah, sementara keluarga Kerajaan Pagaruruyung termasuk sebagai penghalang cita-cita Darul Islam, sehingga pada 1804 keluarga Istana Pagaruyung dibantai, ribuan rumah dibakar. Maka tak heran kalau referensi Parlindungan yang menggunakan bahan milik Residen Poortman ini mendapat kecaman keras dari parlemen Belanda (1985), malah Pemerintah Belanda memerintahkan untuk melarang beredarnya buku Tuanku Rao yang penuh kebohongan ini. Poortman posisinya sama dengan Snouck Horgronje. Snouck adalah seorang rang ahli Aceh, yang informasinya diminta oleh pemerintah Belanda, sedangkan Poortman seorang Ahli Batak yang pension pada 1930 dan kembali ke Belanda. Sesungguhnya Parlindungan bukanlah sejarawan. Dia yang besar bual ini memang banyak menulis tentang Tuanku Tambusai, tapi dimana makamnya Tambusai saja dia tak tahu, malah membuat Statemen aneh yang mengatakan masyarakat Padang Lawas yakin betul Tuanku Tambusai "belum mati dan bersembunyi di Dabuan Ulu". Atau akan muncul lagi di akhir zaman ? Bohong Parlindungan juga terbaca dari pemutar balikan fakta dari referensi yang digunakan, misalnya yang diperolehnya dari Schnitger, seorang Antropholog Belanda, maupun JB Neuman dalam bukunya Het Panai en Bila Stroomgebied yang dimuat dalam majalah geografi kerajaan Belanda tahun 1885, 1886, 1887 menyebutkan bahwa yang disebut Tongku (maksudnya Datuk Engku atau Tuk Ongku) ini orangnya kaya dengan sifat lemah lembut, lebih memperlihatkan maksud ingin mencapai persetujuan daripada kekuatan. Bukan sebagaimana yang ditulis Tempo (21/10/07) halaman 61, sebagai tukang bantai. Dan tidak benar pula dikatakan "jika penduduk tidak serta merta mau masuk Islam akan segera dibunuh". Memang Tuanku Tambusai tak hanya sebagai sosok perang yang paling ditakuti Belanda, karena dari berbagai medan pertempuran yang dilalui Tuanku Tambusai, sungguh cukup meyibukkan kaum penjajah, sebagaimana diucapkan D Brakel dalam bukunya De oolog in Ned. Indie, Arnheim (1985) yang menyatakan, "selama perang Paderi, dua tokoh yang menyebabkan Belanda harus berjuang keras untuk begitu lama: Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai. Tanpa kedua orang ini, peperangan bisa dihabisi dalam waktu yang lebih singkat dengan kemenangan pihak Belanda". Namun beliau juga adalah juga seorang ulama yang santun dalam menyiarkan agama Islam, terutama bagi yang masih menganut ke percayaan pebegu . Buku Tuanku Rao karangan Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan saja tak layak dan berbahaya untuk dibaca, bagaimana pula dengan buku kedua berjudul "Greet Tuanku Rao" yang ditulis Basyral Hamidy Harahap yang terbit September 2007 ini? Ketua Jurusan Perpustakaan UI 1965-1976 ini ingin mengoreksi tentang Tuanku Rao yang dianggap kurang tepat, tapi pada garis besarnya, ia sependapat bahkan menambahkan data kekerasan yang dilakukan Paderi. Sumber utama dari Parlindungan saja data dan faktanya sudah dibakar, sehingga selaku penulis yang terlihat bersikap ambivalens perlu kita pertanyakan kesehatan cara berpikirnya, atau sekedar mencari sensasi murahan? Bukankah penulis yang bermarga Harahap juga berkomentar miring tentang Tuanku Tambusai yang katanya bernama Hamonangan Harahap? Nama Tuanku Tambusai didaerah Tapanuli Selatan mempunyai arti khusus, bahkan beliau disapa Ompu Baleo yang artinya Tuanku Beliau. Sekarang nama beliau diabadikan sebagai nama Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Tapsel yang kita bisa dapatkan disana tertulis PDAM Tambusai. Seharusnya adalah PDAM Tuanku Tambusai, karena Tambusai adalah nama kecamatan di Rokan Hulu. Tulisan PDAM Tambusai penulis temui di Sipirok yang kini penduduknya lebih 70 persen Islam. Disana malah ada Pondok Pesantren yang justru banyak menerima santri dari Provinsi Riau, asalnya Tuanku Tambusai. Sebaiknya mari kita lihat kembali dengan pikiran dan wawasan yang luas, betapa nilai kejuangan jatidiri anak Melayu dari Desa Tambusai bernama Muhammad Saleh ini, sebagaimana hasil perburuan naskah sejarah para ahli di museum sejarah baik di museum nasional di Jakarta maupun di Leiden, Belanda, yang dapat terbaca lewat tulisan penulis militer Belanda yang terlibat langsung sebagai "pelaku sejarah" yaitu Gubernur Militer Michiels dan menantunya yang juga ahli strategis bernama Van Der Hart, maupun penulis Belanda seperti JB Neuman, D Brakel, EB Kielstra, HM Lange dan seorang Antropolog terkenal bernama Schnitger. Tidak ada alasan Tuanku Tambusai "tidak popular di Riau" kecuali bagi orang-orang yang "Tidak tahu bahwa dianya tidak tahu". Semoga tulisan ini menjadi "obat" bagi yang lupa akan jasa anak jati diri Melayu ini yang untuk pertama kali telah menempatkan potret dan jati diri Anak Melayu Riau itu kedalam album nasional yang sejajar dengan suku bangsa lainnya di Indonesia dalam menegakkan NKRI yang kita cintai. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal dan mengenang jasa pahlawannya sendiri?
.
GREGET TUANKU RAO
Bercengkrama dengan Mangaraja Onggang Parlindungan (MOP) adalah pengalaman yang mengesankan. Saya pernah bertemu dengan MOP pada awal tahun 1970-an dalam perbualan di rumah abang saya Amir Husin Siregar di bilangan Tulodong Bawah, Jakarta Selatan. Hadir dalam perbualan itu Amir Husin Siregar, MOP dan Ir. Amiru Bagwie.
Ir. Amru Bagwie lahir dan besar dalam kalangan intelektual Sipirok. Ayahnya Dr. Abdul Rasyid dan pamannya Abdul Firman Gelar Mangaraja Soangkupon, adalah anggota Voksraad (Dewan Rakyat) Batavia. Suangkupon, seorang yang terkenal di zaman pergerakan anggota Dewan Rakyat mewakili Sumatera Timur, (Noer, 1996:180-181). Suangkupon, adalah anggota Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda (Poeze: 1986:75,78,80,88,281,303), dan teman seperjuangan anak Betawi, Muhammad Husni Thamrin, yang sangat gigih membela nasip para nasip kuli kontrak di tanah Deli.
Saya pernah membawa Lance Castles ke alamat ini untuk bertemu dengan Ir. Amrun Bagwie, 1970, salah seorang nara sumber Lance Castles ketika menyiapkan disertasinya The Political Life of a Sumatran Residency: Tapanuli 1915-1940. Kelak Dr. lance Castles meminta saya menulis kata pengantar Edisi Indonesia disertasi yang dipertahankannya di Yale University pada tahun 1972 tersbut. Kepustakaan populer Gramedia, menerbitkan edisi Indonesia 2001 di bawah judul: ”Kehidupan Politik suatu Keresidenan di Sumatera : Tapanuli 1915-1940”.
HAMKA menggambarkan sosok MOP sebagai seorang yang suka berkopiah sampir (rasam) buatan Gorontalo, berpipa Cangklon, bersarung dan bertongkat kecil (Hamka, 1974:18-19). Penampilan itu sering saya saksikan ketika beberapa kali bertemu dengan MOP.
MOP pernah dengan wajah agak gusar, mengarahkan tongkatnaya yang berkepala gading ke arah dahi saya, saya kaget, mengelak dan malu bukan kepalang. Pasalnya saya ingin mengetahui perihal polemiknya dengan Hamka dan Haluan tentang buku ”Pongkinangolngolah Sinambela gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833”.
Mungkin MOP menilai saya tidak pantas ikut berbicara pada perbualan itu. Itulah kenangan saya terhadap MOP, pada awal tahun 1970-an. Sejak itu saya semakin tertarik kepada MOP, tertarik dalam arti tidak mengenalnya lebih dekat. Antara tahun 1974-1976 saya beberapa kali bertemu dengan Hamka di kediamannya. Dalam kesempatan, Hamka Memperlihatkan Surat MOP. Isinya tentang pernyataan MOP menarik diri dari polemik dengan Hamka. Alasannya, karena kurang sehat, lagi pula harusa bekerja keras untuk mencari uang untuk membiayai anak-anaknya. Sehingga MOP tidak punya waktu untuk melayani polemik dengan Hamka. Ketika itu buku Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”:Bantahan terhadap tulisan-tulisan Ir.Mangaradja Onggang Parlindungan dalam Bukunya “Tuanku Rao” baru saja terbit.
Pada tahun 1976, 12 tahun setelah buku Tuanku Rao terbit, saya bertanya kepada Muhammad Radjab Lubis gelar sutan Ranggasoli, salah seorang anggota Petisi 50, yang saya kenal gemar membaca bahan-bahan sejarah dan politik, apakah ia sudah membaca Tuanku Rao, “itu kan Cuma turi-turian. Buat apa saya membuang waktu membaca buku sepert itu” katanya singkat.
Pada tahun 1965-1967 saya sering bertemu dengan Prof.Dr. Slamet Mulyana dalam kapasitas saya sebagai ketua jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI dan beliau sebagai dosen FS UI. Pada awal tahun 1980-an kami sering tukar kunjung sebagai tetangga di Rawamangun. Prof. Slamet Mulyana mengaku sebagai murid Mangaraja Onggang Parlindungan.
Saya berpendapat, kendati buku Tuanku Rao hanyalah turi-turian perlu juga dibaca, siapa tahu ada butir-butir berharga dari kisah MOP itu.
Komunitas Bambu meminta saya mengulas buku tersebut, sehingga mengharuskan saya membacanya lebih serius. Kesan saya terhadap buku Tuanku Rao, adalah bahwa buku ini bagaikan umbul, mata air, yang dapat dipakai sesuai keperluan. Umbul dapat dipakai sebagai air minum, air wuduk, mandi, mencuci pakaian, mencuci beras, mencuci sayur mayur, mencuci buah, menyiram tanaman, dan lain-lain . Pokoknya terserah kepada yang ingin memanfaatkannya. Begitu juga, bukuTuanku Rao, yang dapat menjadi sumber inspirasi untuk menulis buku dari berbagai sudut pandang.
Pastilah sulit untuk membahas buku Tuanku Rao dari segala segi di dalam satu buku. Pasalnya, sangat melelahkan, juga memerlukan kerja keras untuk mencari segala rujukan paparan MOP. Sulitnya lagi, MOP telah membakar semua bahan-bahan yang dijadikannya sebagai sumber penulisan buku Tuanku Rao.
Oleh karena itu, buku ini bolehlah dikatakan sebagai turi-turian seperti yang dikatakan Muhammad Rajab Lubis Sutan Ranggasoli itu. Turi-turiandalam khasanah sastra lisan Mandailing dan Angkola, Sipirok, Padang Lawas (ASPAL) bisa bersumber pada peristiwa yang benar-benar terjadi pada kurun dan tempat tertentu. Tetapi juga hanya fantasi, ialah kisah yang hanya terjadi di negeri antah berantah pada kuruntingki dina itom na robi, pada zaman kegelapan. Sehingga tidak dapat dipakai sebagai rujukan peristiwa sejarah.
Tuanku Rao adalah turi-turian yang dikisahkan oleh seorang Bayo Parturi, juru Kisah atau Story teller yang mahir, yang akan memukai pembacanya dari segala lapisan masyarakat tanpa pandang jenjang pendidikan. Pokoknya siapa saja yang membaca buku ini, mulai dari berpendidikan Sekolah Dasar, S1,S2 dan S3 maha guru, ulama besar, atau hakim, niscaya akan terbius dengan penuturan MOP.
Saya menulis buku Gregat Tuanku Rao ini Dari sudut pandang seperti dibawah ini:
1. Mengkoreksi yang salah
2. Menulis tentang hal-hal yang luput dari perhatian
3. Menulis tentang hal-hal yang tidak diketahui oleh MOP Hal itu semua perlu diketahui oleh khalayak ramai.
Oleh karena itu, tidak semua bab didalam buku Greget Tuanku Rao ini membicarakan buku Tuanku Rao. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia ada tiga bentuk kata gereget,gregat dan greget yang artinya mengandung makna nafsu, semangat,kemauan untuk berbuat sesuatu, geram, kesal dan jengkel. Saya memilih Greget karena greget terasa terlalu lembut dan greget tidak biasa dilafalkan dalam bahasa percakapan sehari-hari. Kata greget lebih memiliki ruh yang apabila diucapkan akan berpengarauh pada gerak bibir orang yang mengucapkannya bahkan membuat gigi beradu. Hal itu terjadi spontan sebagai tampilan makna dan emosi yang dikandung kata greget itu. Sebagai penulis ada debar-debum jantung saya kita menulis bab Datu Bange didalam buku ini. Bukan hanya itu karena bab ini bercerita tentang kebiadapan, genocide, dan dendam yang membara. Tetapi karena ia juga bercerita tentang leluhur saya yang terus menerus melakukan perlawanan sekalipun mereka sudah dalam posisi yang tidak mengutungkan. Sementara itu pasukan berbaju Putih yang mendengung-dengungkan agama, sambil menebas kepala manusia, membakari kampung, memperkosa dan melakukan segala macam kebiadapan, terus mengejar musuhnya. Inilah yang membuat pihak Belanda jadi meleleh, dan terusik rasa kemanusiaanya. Datu Bange dan rombonganya terus melakukan perlawanan. Secara spontan pasukan Belanda kemudian melindungi rombongan Datu bange. Karena jika tidak demikian, sebuah tragedi kemanusiaan yang jauh lebih kejam pasti terjadi, yang bagaimana pun tidak akan bisa diterima manusia beradap !!!.
Datu Bange dan pengikutnya yang tidak lain adalah leluhur saya, pada akhirnya berhasil memasuki daerah baru setelah menempuh medan yang berat, berliku-liku naik gunung dan turun lembah serta hutan belantara. Kemudian satu rombongan menetap didaerah Angkola kurang lebih 55 kilometer dari Simanabun dan satu di sihepeng,Mandailing Godang kurang lebih 100 kilometer dari Simanabun. Datu Bange harus menembus semua itu dengan nyawanya sendiri.
Melalui tulisan ini saya mencoba memperkaya informasi tentang hal-hal yang kiranya luput dari perhatian MOP, misalnya tentang Willem Iskander yang saya sebut sebagai terowongan waktu. Duet Godon dengan Yang Dipertuan yang telah melakukan terobosan peradapan spektakuler antara lain menghapuskan perbudakan di wilayah Asisten Residensi Mandailing Angkola justru pada saat yang bersamaan dengan terbitnya buku Uncle Toms Cabin, Emansipasi kaum perempuan, pembangunan jalan ekonomi dar Penyabungan ke Natal sepanjang 90 km yang dikerjakan rakyat secara suka rela tanpa sedikitpun menelan korban. Juga tentang peranan Sutan Casayangan Soripada sebagai peletak dasar kesadaran kebangsaan Indonesia dan penentu Orientasi kesatuan Indonesia, serta peranan para ulama-ulama Sufi Mandailing yang menyebarkan agama Islam di daerah itu berabad sebelum Paderi datang.
Sebagai penutup, saya ingin meminta perhatiaan kita terhadap kehadiran para peneliti asing yang datang melakukan penelitian terhadap berbagai aspek kehidupan suku-suku bangsa Indonesia. bangsa kita sering kali terpengangahdan terkagum-kagum melihat kehadiran peneliti asing. Ada benarnya sikap seperti itu. Tetapi harus ada pengenalan lebih dalam terhadap tokoh-tokoh peneliti suku-suku bangsa indonesia itu. Pasalnya barangkali tidak sedikit peneliti asing yang tidak fasih berbahasa daerah suku bangsa yang ditelitinya. Sehingga dapat diduga, hasil penelitiaanya mungkin hanya sebatas kulitnya saja. Tiddak jarang responden menyembunyikan, hanya menyatakan dengan isyarat-isyarat saja hal-hal yang penting. Sehingga peneliti hanya mendapat imformasi yang dangkal.
Selain itu, ada hal-hal yang bersifat tabu walaupun tidak kuat,tetapi jika diucapkan dimuka orang-orang yang diikat oleh nilai-nilai kepatutan, maka mereka akan merasa malu atau tidak nyaman. Missalnya, jika seorang peneliti bertanya kepada anak gadis yang memakai jilbab di muka ayah ddan ibunya, atau seorang ibu muda didepan suaminya dan mertuanya pertanyaan seperti ini “Kenapa anda mamakai Jilbab? Mengapa anda menyembunyikan kecantikan Anda? Pada hal jika anda membuka jilbab, anda pasti tampak lebih cantik lagi. Sehingga banyak pemuda yang akan cinta kepada anda.
Kata-kata peneliti seperti ini membuat responden merasa malu dan tidak nyaman. Mungkin responden hanya tampak tersipu-sipu, tetapi dia sebenarnya marah dan tidak simpati kepada peneliti itu.
Saya kagum kepada beberapa peneliti yang fasih berbahasa suku bangsa yang mereka teliti, sekaligus mengenal dengan baik nilai-nilai kesopansantunan suku bangsa yang mereka teliti. Sekedar menyebut beberapa nama :
Lance Castles berbahasa Batak ketika mewawancarai respondennya di Pematang Siantar dan Tapanuli.
Sutan Rodgers fasih berbahasa Batak dialek Angkola Sipirok, memiliki pengetahuan yang luar biasa tengtang segala kehidupan orang Sipirok, sehingga masyarakat adat Sipirok menabalkan marga Siregar kepadanya sebagai penghargaan yang tinggi. Sutan Rodgers menghargai tinggi pemberiaan marga itu. Tidak sedikit karya ilmiahnya memakai nama Sunan Rodgers Siregar.
Rita Smith Kipp seorang Antropolog yang fasif berbahasa Karo.
Suami isteri Herman Slaats dan M.K. Portier yang fasih berbahasa Karo dan ahli dalam seluk beluk tradisi dan Hukum Adat Karo.
Sandra Niessen yang fasif berbahasa Batak Toba dan menguasai seluk beluk filosofi hidup orang batak Toba.
J.J. Ras dan Willem van der Molen dari universitas Leiden yang ahli bahasa dan sastra Jawa yang sangat menguasai alam pikiran, tradisi dan perilaku orang jawa.
Itulah beberapa peneliti asing yang saya kenal. Tentu saja masih banyak sekali nama-nama peneliti yang fasih berbahasa dan menguasai segala segi kehidupan lahir batin suku-suku bangsa yang mereka teliti. Catatan ini hanya sekedar mengingatkan para peneliti, apakah ia orang asiang atau orang Indonesia, agar ia seharusnya menguasai bahasa dan nilai-nilai luhur masyarakat yang ditelitinya.
Mungkin beberapa orang tidak enak membaca satu dua alinea di dalam buku ini, tetapi ini saya lakukan adalah dalam upaya merentang benang kebenaran, minimal menurut yang saya ketahui. Saya berharap, orang lain akan merentangkan benang kebenaran sesuai sudit pandang, sehingga demikian akan mempermudah kita mengaproksimasi, menetapkan kebenaran yang sesungguhnya.
Biarlah ini semuanya menjadi sumbangan saya kepada MOP dan kepada pencari kebenaran. Semoga langkah ini diridhoi oleh Allah SWT. Amin.
Rawamangun, 18 Agustus 2007. Ulasan ini adalah pengantar Basyral H. Harahap pada bukunya yang berjudul: Greget Tuanku Rao” LKIS, 2007.
Diupload oleh: Erond L. Damanik, M.Si. Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan
Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Dr. Joko Utomo, dalam pidato pembukaan Seminar Sejarah Perang Paderi 1803-1838 di Gedung ANRI pada tanggal 22 Januari 2008, mengungkapkan bahwa Dr. Saafroedin Bahar adalah penggagas penyelenggaraan seminar ini.
Gagasan itu dikemukakan oleh Dr. Saafroedin Bahar dalam pertemuannya dengan Dra. Mona Lohanda dan Dr. Joko Utomo sendiri. Pihak ANRI menerima baik gagasan ini, karena ANRI adalah lembaga yang menyimpan memori kolektif bangsa, penyimpan sumber-sumber sejarah yang otentik dan kredibel serta memberikan akses seluas-luasnya kepada peneliti, masyarakat untuk kepentingan pemerintahan, pembangunan, penelitian, ilmu pengetahuan, kemasyarakatan demi kemaslahatan bangsa.
Di bagian lain sambutannya, Dr. Joko Utomo mengemukakan bahwa sudah sejak lama ada perdebatan tentang Tuanku Rao. Pada bulan Juli 1969 diselenggarakan seminar di Padang yang menampilkan dua pembicara utama yang berdebat seru, ialah Hamka dan Mangaraja Onggang Parlindungan (MOP) berkaitan dengan buku yang ditulis oleh MOP berjudul Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali Di Tanah Batak 1816-1833 yang diterbitkan oleh Penerbit Tandjung Pengharapan di Jakarta tahun 1964.
Sepuluh tahun kemudian Hamka menerbitkan buku sanggahannya terhadap buku yang ditulis oleh MOP itu berjudul Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao: Bantahan terhadap tulisan-tulisan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao, yang diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang di Jakarta pada tahun 1974.
Dr. Joko Utomo juga mengemukakan bahwa, G. Teitler menyusun buku Het Einde van de Padrie-oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bonjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie yang diterbitkan oleh De Bataafsche Leeuw di Amsterdam pada tahun 2004.
Menurut Dr. Joko Utomo, hal itu mencuat kembali setelah buku Tuanku Rao karya MOP diterbitkan oleh LKIS Bantul pada bulan Juni 2007, dan terbitnya karangan Basyral Hamidy Harahap berjudul Greget Tuanku Rao yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu di Depok pada bulan September 2007.
Redaksi Majalah TEMPO menganggap masalah ini sangat serius, maka Majalah TEMPO nomor 34, 15-21 Oktober 2007 memuat tulisan berjudul “Kontroversi Kebrutalan Kaum Paderi”.
PARA PEMAKALAH
Seminar ini dihadiri oleh 200 peserta terutama dari kalangan masyarakat Minangkabau dan Melayu Riau yang datang dari Sumatera Barat, Riau dan Jakarta. Ada sepuluh pemakalah dalam dua diskusi panel.
Prof. Dr. Taufik Abdullah menyampaikan “Pengantar Umum tentang Perang Paderi 1803-1838” kemudian dilanjutkan Diskusi Panel I yang dipimpin oleh moderator Dr. Magdalia Alfian dengan pemaparan lima pemakalah.
· Prof. Dr. Asmaniar Z. Idris menyampaikan makalah “Melihat Kembali Peristiwa Perang Paderi”,
· H. Ilhamdi Taufik, S.H., M.A. menulis makalah “Kearah Kompilasi ABS-SBK di Minangkabau”,
· Prof. H. Bismar Siregar, S.H. menyampaikan makalah “Aku Bangga Disebut Batak Mandailing”,
· Batara Hutagalung menulis makalah “Beberapa Catatan mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi”,
· Prof. Drs. Suwardi, M.S. menyampaikan makalah “Pandangan Masyarakat Melayu Riau Terhadap Kontroversi Buku Tuanku Rao Karya M.O. Parlindungan dan buku Greget Tuanku Rao karya Basyral Hamidy Harahap tentang Kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol & Tuanku Tambusai”.
Pada Diskusi Panel II, Dr. Saafroedin Bahar selaku moderator menyampaikan makalah “Beberapa Catatan Singkat Tentang Cara Merumuskan Kompilasi Hukum ABS-SBK”, dilanjutkan dengan paparan makalah oleh
Prof. Dr. Taufik Abdullah berjudul “Dinamika Konflik dan Konsensus Antara Adat dan Agama Islam di Minangkabau”
Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. menulis makalah “Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi Kitabullah: Dinamika relasional adat dan Islam di Minangkabau”
Prof. Dr. Amir Syarifuddin menulis makalah “Sekilas Tentang Mazhab Hambali dan Kaum Wahabi”
Drs. H. Sjafnir Aboe Nain Dt. Kando Marajo menulis makalah “Posisi Sumpah Sakti Bukit Marapalam Sebagai Kesepakatan Paska Padri”, dan
Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J. menulis makalah “Perang 30 Tahun Eropa dan Munculnya Masyarakat Sekuler”.
Selain itu, panitia seminar membagikan tujuh tulisan yang tidak dipresentasikan ialah:
Ø “Tuanku Imam Bonjol, Paderi, Wahabi dan Adat Basandi Syarak Sebagai Jati Diri Masyarakat Minangkabau” oleh Bachtiar Abna, S.H., M.H. Dt. Rajo Suleman,
Ø “Menggugat Imam Bonjol: Ataukah Pemahaman yang Tergelincir??” oleh Anthoniyswan,
Ø “Panglima Perang Paderi yang Luput dari Sejarah” oleh Fuad S. Bakri,
Ø “Bangga” oleh Lembang Alam,
Ø “Perang Paderi Bukanlah Perang Hitam Putih” oleh Azmi Dt. Bagindo, dan
Ø “Siapa yang bertanggung jawab atas pelestarian jati diri urang Minang dengan adat budayanya yang ABSSBK” oleh H. Ch. N. Latief, S.H., MSi, Dt. Bandaro.
Seminar ini berjalan lancar. Semua peserta sangat antusias mengikuti acara seminar. Hadir tokoh-tokoh masyarakat Minang antara lain Ketua Umum Gebu Minang, Mayjen. TNI (Purn.) Asril H. Tanjung, SIP, Dr. Awaludin Djamin, Buya Mas’oed Abidin dari MUI Sumatera Barat.
Menarik kehadiran artis Rae Sahetapy dalam seminar itu. Kehadirannya sudah barang tentu untuk menambah wawasannya tentang Perang Paderi berkaitan dengan perannya di dalam film “Tuanku Imam Bonjol”. Harian Duta Masyarakat edisi 22 Oktober 2007 memberitakan pembuatan film yang diproduksi oleh Reza Zulkifli dari PT Salsa Cemerlang Abadi Film dengan sutradara Abuan Romli, seorang spesilais pembuat film kolosal. Reza Zulkifli menyebutkan, bahwa selain menggandeng sejarawan Taufik Abdullah juga akan menggali informasi dari tokoh-tokoh adat Minangkabau di Sumatera Barat untuk mendetailkan ceritanya.
Dalam film ini, Reza menunjuk Rizal Djibran sebagai sosok Tuanku Imam Bonjol dewasa. Sedangkan tokoh Tuanku Rao diperankan oleh ustadz Jeffry Al Buchori sebagai pelanjut perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Harian Republika edisi 23 Oktober 2007 juga memberitakan informasi yang berbeda tentang pembuatan film “Tuanku Imam Bonjol”, di antaranya pemeran tokoh Tuanku Rao adalah Rae Sahetapy. Kisah film dimulai dengan pengadeganan Imam Bonjol kecil, sekitar lima menit, semasa remaja (10 menit), kemudian berguru pada Tuanku Rao (Ray Sahetapi) hingga Tuanku Imam Bonjol menjadi panglima kaum Paderi.
Film kolosal ini merupakan film termahal dengan biaya 19 miliar rupiah (Harian Republika 23/10/2007) atau 20 miliar lebih (Duta Masyarakat 22/10/2007) mendapat dukungan dari pemerintah di antaranya Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, dan dari Departemen Pendidikan
Pada saat istirahat seminar, saya bertanya kepada Rae Sahetapy tentang perannya sebagai Tuanku Rao yang menjadi guru bagi Tuanku Imam Bonjol kecil dan remaja sehingga menjadi Panglima Kaum Paderi. Adakah data sejarah tentang Tuanku Imam Bonjol yang menjadi murid Tuanku Rao? Rae Sahetapy tampak bingung sambil menjawab, bahwa perannya memang menjadi salah seorang guru bagi Tuanku Imam Bonjol. Harian Duta Masyarakat juga memberitakan bahwa, menurut Reza, rencana pembuatan film juga sudah didiskusikan dalam satu sarasehan yang menghadirkan sejumlah orang ternama, antara lain penyair Taufiq Ismail dan Agum Gumelar selaku penasehat produksi. Hal ini saya singgung di dalam laporan ini, karena film “Tuanku Imam Bonjol” itu bisa jadi kelak akan mengundang kontroversi pula.
TANGGAPAN
Judul makalah yang dipaparkan oleh para pemakalah dan tulisan yang tidak dipresentasikan telah menggambarkan apa yang dibicarakan di dalam makalah dan tulisan lainnya itu. Tanggapan peserta terhadap paparan pemakalah sangat bernas.
Makalah yang paling menarik bagi saya adalah makalah Prof. Drs. Suwardi, M.S., yang menjadi perwakilan Masyarakat Melayu Riau dalam seminar ini. Mahaguru ini adalah Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Riau (MSI) sejak berdiri sampai sekarang. Jadi reputasinya sebagai sejarawan seharusnya tidak diragukan.
Makalahnya berjudul panjang “Pandangan Masyarakat Melayu Riau Terhadap Kontroversi Buku ‘Tuanku Rao’ Karya M.O. Parlindungan dan buku ‘Greget Tuanku Rao’ karya Basyral Hamidy Harahap tentang Kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol & Tuanku Tambusai”. Menurut mahaguru ini, makalah tersebut adalah hasil kerja tim selama dua hari. Selengkapnya saya salin sesuai aslinya termasuk salah ketik dan cetak tebal (bold) di dalam makalah tersebut di bawah ini sebagai berikut:
PANDANGAN MASYARAKAT MELAYU RIAU TERHADAP KONTROVERSI BUKU TUANKU RAO KARYA M.O. PARLINDUNGAN DAN BUKU GREGET TUANKU RAO KARYA BASYRAL HAMIDY HARAHAP TENTANG KEPAHLAWANAN TUANKU IMAM BONJOL & TUANKU TAMBUSAI
1. LATAR BELAKANG
Pembahasan topik ini pada seminar yang diadakan oleh Arsip Nasional RI kerjasama dengan Gebu Minang dan Seknas MHA tentu didorong oleh berbagai issu yang bersumber dari tersebarnya berita di media cetak tentang terbit ulang (reprint) Buku Tuanku Rao oleh Mangaraja Onggang Parlindungan tahun 2007. Penerbit LKiS menghadirkan kembali buku ini setelah 43 tahun menjadi kontroversi sejak terbit perdana tahun 1964 dan ditarik sendiri oleh penulisnya setelah mendapat kritikan dimana-mana akibat data yang diragukan keakuratannya (khayalan belaka). Terutama fakta yang berkaitan dengan kebrutalan kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol seakan-akan mengarah kepada tindakan yang tidak bersifat manusiawi dan keluar dari nilai-nilai agama Islam. Bahkan Prof. Hamka membuat buku khusus untuk meng-counter buku di atas dengan menerbitkan buku berjudul Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao (Bulan Bintang, 1974).
Namun, akhir-akhir ini kontroversi buku tersebut kembali marak dengan terbitnya tulisan khusus yang dimuat Majalah Tempo edisi 15-21 Oktober 2007 berjudul “Kontroversi Kebrutalan Kaum Padri” pada rubrik selingan “Iqra”. Sebelum tulisan Tempo dipublikasikan sebenarnya telah pula keluar buku yang isinya juga menyorot kisah brutal Kaum Padri di daerah Mandailing (Padang Lawas, Dolok, dan Barumun) di bawah pimpinan Tuanku Tambusai. Buku yang dimaksud berjudul Greget Tuanku Rao karangan Basyral Hamidy Harahap yang intinya menggugat kepahlawanan Tuanku Tambusai yang dianggapnya telah melakukan perbuatan tidak manusiawi dengan membunuh kaum penentangnya secara sadis. Bahkan baru-baru ini oleh seorang yang tidak jelas latar belakang dan apa tujuannya, Ir. Mudy Situmorang (seorang warga masyarakat Batak kelahiran Pulau Samosir) mempersoalkan gelar Pahlawan Nasional kepada Tuanku Imam Bonjol yang berarti juga mempersoalkan kepahlawanan Tuanku Tambusai dengan menyebarkan mailing list yang berbau fitnah dan sadis.
Berdasarkan kontroversi di atas kami dari masyarakat Melayu Riau merasa terpanggil untuk ikut meluruskan sejarah yang coba dibengkokkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Pandangan ini kami susun setelah melalui diskusi selama dua hari berturut-turut dengan melibatkan ahli sejarah, budayawan, akademisi, tokoh masyarakat/adat serta pers yang bertempat di Sekretariat Lembaga Adat Melayu Riau. Pembahasan materi ini lebih kami fokuskan kepada kontroversi Tuanku Tambusai yang telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional RI dari Propinsi Riau.
2. TUJUAN
Tujuan dari pembahasan ini ialah:
a. Memberi masukan untuk pemecahan kontroversi Buku Tuanku Rao karya MO. Parlindungan dan Greget Tuanku Rao karangan Basyral Hamidy Harahap terutama yang berkenaan dengan Tuanku Tambusai.
b. Pemecahan itu akan memberi kejelasan tentang nilai-nilai Kepahlawanan Tuanku Tambusai.
c. Memberikan pernyataan sikap atas kelanjutan penerbitan dan reprint dari kedua buku tersebut.
3. PERMASALAHAN
Seberapa jauh kebenaran informasi dalam Buku Tuanku Rao karangan MO. Parlindungan dan Greget Tuanku Rao karangan Basyral Hamidy Harahap? Jika kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan maka buku tersebut harus diapakan? Apa maksud penerbitan dan reprint kedua buku tersebut? Adakah skenario untuk memecah belah persatuan kesatuan bangsa dan mencederai kerukunan umat beragama di Indonesia?
4. CAKUPAN BAHASAN
1. Kutipan kontroversi Buku “Tuanku Rao” dan “Greget Tuanku Rao” yang berkenaan dengan Tuanku Tambusai.
2. Klarifikasi dan Pelurusan Fakta.
3. Kesimpulan
4. Rekomendasi
II. MATERI POKOK KONTROVERSI BUKU TUANKU RAO & BUKU GREGET TUANKU RAO YANG BERHUBUNGAN DENGAN TUANKU TAMBUSAI
1. Buku Tuanku Rao memang hanya sedikit menyinggung tentang Tuanku Tambusai. Paling tidak pada buku ini terdapat beberapa halaman yang fokus menceritakan gerak gerik Tuanku Tambusai. Walaupun hanya sedikit, namun tingkat keakuratan datanya sangat perlu dipertanyakan!!! Apalagi ketika berbicara tentang kekejaman kaum Padri di wilayah Minangkabau, tentunya tidak terlepas dari kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai yang katanya telah melakukan ekspansi sampai ke wilayah Mandailing dengan melakukan pembunuhan massal yang sadis.
Dalam buku ini disebutkan bahwa Tuanku Tambusai merupakan gelar dari nama Hamonangan Harahap, “……….Syarif Anwar Harahap, cucu dari Tinodungan Harahap, yang adalah Saudara Kandung dari Hamonangan Harahap gelar Tuanku Tambusai” (hlm. 352). Pada halaman yang sama disebutkan bahwa makam Tuanku Tambusai tidak pernah diketahui entah dimana. “Tidakpun diketahui, entah kapan, dimana, dan bagaimana Tuanku Tambusai Wafat……. Orang2 Padanglawas percaya, bahwa: Tuanku Tambusai tidak mati!! How?? Katanya: Tuanku Tambusai dengan kudanya “Si Ganding Bara,” masuk kedalam gua didalam tanah. Disitu hidup terus hingga hari ini masih.
Pada bagian akhir bab pembahasan tentang Tuanku Tambusai, penulis dengan terang-terangan menyebut bahwa Tuanku Tambusai adalah gelar dari Hamonangan Harahap. Ditulis bahwa, “Hormat kepada Hamonangan Harahap gelar Tuanku Tambusai Maha Putra Padang Lawas.” Mungkin masih banyak pada halaman lain kontroversi dari Tuanku Tambusai pada buku ini, namun dari yang sedikit data di atas saja tingkat kesalahannya sudah fatal.
2. Buku Greget Tuanku Rao secara nyata dan jelas banyak menuding pribadi Tuanku Tambusai. Penulisnya nampak secara emosional dan membabi buta memfitnah Tuanku Tambusai dengan pandangannya sendiri serta mengutip murni (percaya 100%) sumber dari penjajah Belanda. Namun, sebelum dikutip lebih lanjut kebenciannya terhadap Tuanku Tambusai, perlu diketahui bahwa Basyral merupakan keturunan Raja Datuk Bange yang disebut-sebut sebagai lawan berat Tuanku Tambusai sewaktu menyerang ke Padang Lawas.
Sebagaimana dikutip Tempo dari penuturan Basyral bahwa ketika berhasil dipukul mundur di Padang Lawas, Tuanku Tambusai balik ke Mandailing. “Dan dalam perjalanannya, pasukannya membabi buta menangkapi anak gadis dan perempuan dewasa di lembah timur Bukit Barisan. Para perempuan itu ditukar dengan mesiu”. Setahun setelah peristiwa ini Tuanku Tambusai menyerang Datuk Bange lagi. Pada penyergapan kali ini Datuk Bange dapat dikepung, namun ia berhasil lolos dengan keadaan terluka. Disebutkan Basyral bahwa Datuk Bange mau menyerah, tapi dengan syarat Tuanku Tambusai membiarkan pengikut Datuk Bange selamat. “Kenyataannya pasukan Tambusai kemudian memutilasi ratusan penduduk Padang Lawas”.
Inti dari pemikiran Basyral ini adalah ia mempertanyakan kepahlawanan Tuanku Tambusai yang telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional RI tahun 1995 sebagaimana juga disangkatnya. Tuanku Imam Bonjol sebagai Pahlawan Nasional RIdari Sumatera Barat tahun 1973. Basyral mengatakan, “Mengapa ia (Tuanku Tambusai) dianggap pahlawan?”
Basyral membenarkan semua kisah tentang pembantaian yang dilakukan Tuanku Tambusai berdasarkan catatan J.B. Neuman, Jughuhn, Ypes, Schnitger dan T.J. Willer. Ia salah satunya mengutip catatan Willer, “….. Padri yang dipimpin oleh Tambusai membakar kampung demi kampung…. Mereka memaksakan ajaran Islam (Wahabi) dimana-mana. Jika penduduk tidak serta merta mau masuk Islam akan segera dibunuh……..”
Demikianlah kutipan-kutipan kontroversial tentang kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai yang perlu diluruskan berdasarkan kejian ilmiah dan sumber-sumber terpercaya. Selanjutnya akan dipaparkan kebenaran sejarah berdasarkan hasil kajian dari para pakar sejarah dan tokoh masyarakat di Riau yang telah dimuat pada buku Pengusulan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional yang diterbitkan tahun 1995. Di dalam buku ini telah ditetapkan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional RI berdasarkan Kepres No. 071/TK/tahun 1995 tanggal 7 Agustus 1995, dengan sendirinya telah mempunyai kepastian hukum.
III. KLARIFIKASI DAN PELURUSAN SEJARAH
1. Klarifikasi dimaksudkan untuk mengkritisi atas kontroversi Buku Tuanku Rao karangan MO. Parlindungan dan Greget Tuanku Rao. Hasil penelitian dari tim pengusulan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional melalui kajian mendalam dari berbagai pakar ditemukan fakta bahwa pada intinya Tuanku Tambusai merupakan ulama Islam melawan kolonial Belanda yang menganut agama Kristen/Nasrani (kafir). Perjuangannya bersama kaum Padri adalah jihad. Yang pasti dalam setiap perang tentunya terjadi korban dari kedua belah pihak. Tapi fitnah yang dilontarkan terhadap Tuanku Tambusai dan juga Tuanku Imam Bonjol melalui kedua buku di atas sangat berlebihan. Apakah mungkin seorang penganut Islam yang taat hasil dari didikan kota suci Mekkah tega membunuh orang tak berdosa? Dimana-mana Islam selalu disebarkan dengan damai, bukan dengan pedang sebagaimana dituduhkan pihak lawan. Beda tentunya dengan kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara dengan membawa misi dengan menghalalkan segala cara.
2. Pendapat M.O. Parlindungan tentang Tuanku Tambusai merupakan gelar dari Hamonangan Harahap tidaklah benar. Berdasarkan penelusuran data yang tidak diragukan lagi keakuratannya, bahwa Tuanku Tambusai semula lebih dikenal dengan nama Muhammad Saleh. Ia dfilahirkan di Tambusai (sebuah kecamatan di Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau) tanggal 5 Oktober 1784 dari pasangan Ibrahim dengan Munah. Ayahnya adalah seorang ulama besar di Kerajaan Tambusai waktu itu. Ia sejak kecil sudah diajari pelajaran agama dengan ketat, beladiri, termasuk ketangkasan mengendari kuda. Guna memperdalam ilmu agama Muhammad Saleh kecil pergi menunut ilmu di Bonjol kemudian pindah ke Rao (Sumatera Barat sekarang).
Mengenai akhir hayatnya, disebutkan setelah mengalami kekalahan akibat Benteng pertahananannya (terkenal Benteng Tujuh Lapis) berhasil diduduki Belanda dengan bantuan kaum pribumi yang pro penjajah di Dalu-dalu, Tuanku Tambusai berhasil meloloskan diri dengan menaiki sampan melalui Sungai Batang Sosah. Sampannya sempat ditembak oleh Serdadu Belanda, tapi ia berhasil menyelamatkan diri dengan menyelusuri hilir sungai. Selanjutnya setelah aman dari kejaran serdadu Belanda Tuanku Tambusai dengan beberapa pengikutnya beliau menyeberang ke Semenanjung Melaka (Malaysia) melalui Sungai Rokan.
Pada tanggal 28 Desember 1838 sampan kecilnya serta juga beberapa buku yang dibawanya ditemukan di Sungai Rokan. Sejak itu ia tidak pernah ditemukan lagi di wilayah Rokan karena sudah pergi ke Malaysia. Di sini pengikut-pengikutnya berpencar pada beberapa tempat, sedangkan ia menetap di sebuah kampung kecil sembilan batu dari Serasah, Seremban, Ibukota Negeri Sembilan Malaysia.
Beliau menghabiskan sisa hidupnya di negeri itu, setelah berjuang membela Negara, bangsa dan agamanya. Akhirnya beliau berpulang kerahmatullah dan dimakamkan di sana. Makam beliau hingga sekarang sering mendapat kunjungan dari orang-orang Riau yang pergi ke Malaysia. Bahkan oleh Pemerintah Provinsi Riau sudah dilakukan pemugaran dan jalan menuju makam yang terletak di atas bukit itu telah diaspal dan disamping makam dibangun tempat menyimpan buku-buku yang dibawa Tuanku Tambusai serta mushalla tahun 2004. Di sekitar makam beliau, tepatnya di bawah bukit terdapat pemukiman keturunan beliau. Hal tersebut membuktikan kebenaran bahwa Tuanku Tambusai tersebut merupakan pejuang dan pahlawan nasional yang berasal dari Riau.
Perjuangan Tuanku Tambusai telah pula didokumentasikan melalui sinetron tahun 1989 sebelum beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional, sinetron ini dibintangi oleh artis nasional di antaranya Cok Simbara dan Renni Jayusman dkk serta disutradarai oleh Irwinsyah (alm). Sinetron ini berhasil memenangi Festival Sinetron Indonesia.
Jadi tidak benar beliau bernama Hamonangan Harahap dan akhir hayat beliaupun jelas bukti-bukti kesahihannya.
3. Tuduhan-tuduhan dari Basyral sebenarnya juga tidak masuk akal. Untuk mengklarifikasi kebenarannya berikut dipaparkan sejarah perjuangan Tuanku Tambusai yang sesungguhnya: Kemasyuran ulama besar seperti Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang, dan Tuanku Nan renceh di Minangkabau sampai juga ke Tambusai. Hanya saja di Tambusai tidak ada pertentangan antara kaum adat dengan kaum Padri. Dengan ketekunannya belajar, Muhammad Saleh menjadi seorang Padri dengan gelar fakih. Ia ditugaskan guru-gurunya berdakwah di daerah yang paling rawan waktu itu, yaitu Toba (Sumatera Utara sekarang) yang sebagian besar penduduknya masih menganut kepercayaan pelebegu. Di daerah itu ia merasa nyawanya terancam akibat fitnah bahwa ia ingin merombak adat nenek moyang orang Batak. Ia kembali ke Rao (Sumatera Barat sekarang). Bersama Tuanku Rao, ia menyiarkan agama Islam ke berbagai pelosok seperti Airbangis dan Padanglawas kemudian mendirikan pesantren di kampungnya, Dalu-dalu. Karena tingkat keilmuan agamanya tinggi ia memperoleh gelar tuanku. Tuanku Tambusai. Dengan gelar itu, ia ditugasi sebagai Panglima Paderi di Rao. Di samping sebagai panglima, ia menjadi salah seorang dari empat orang paderi yang berangkat ke Mekkah pada akhir tahun 1820-an untuk mempelajari perkembangan pemikiran Islam di Tanah Suci.
Begitu juga ketika Letkol Elout mengajaknya berdamai di Padang Matinggo, Rao, tahun 1832. Tuanku Tambusai meminta kepada Elout jangan mencampuri urusan negeri orang lain. Elout membalas permintaan itu dengan mengatakan bahwa di mana ada Belanda masuk, di situlah ia membuat kuburan. Secara spontan Tuanku Tambusai menjawab “Jika begitu sediakan bedil!”
Dari paparan di atas dapatlah disimpulkan bahwa Tuanku Tambusai telah menunaikan kewajibannya sebagai ulama besar. Di manapun ia singgah masyarakat menghargai dan membantunya. Ia pejuang pembela tanah air yang gigih dan pantang menyerah. Jadi, tidak mungkin seorang ulama besar memimpin pembunuhan massal. Apalagi sebagaimana yang disampaikan Basyral sendiri bahwa masyarakat Padang Lawas ketika itu sudah memeluk agama Islam. Kita tahu bahwa Tuanku Tambusai berjuang untuk mengislamkan orang yang belum masuk Islam, mungkinkah orang yang sudah Islam sendiri dibantainya tanpa alasan yang jelas?
IV. KESIMPULAN
Dari paparan singkat di atas jelas bahwa kedua buku tersebut lebih banyak khayal belaka. Sebagaimana dikatakan Prof. Hamka bahwa isi buku Tuanku Rao 80% bohong, sedangkan sisanya diragukan kebenarannya, buku Greget Tuanku Rao juga tidak jauh beda kenyataannya. Merujuk ungkapan bahwa setiap kali beliau menanyakan data dan fakta dari buku tersebut, MO. Parlindungan selalu menjawab “SUDAH DIBAKAR”.
Jadi, dengan ucapan tersebut sudah jelas, ia mengakui bahwa kebenaran bukunya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Karena itulah penerbitan kembali buku Tuanku Rao tidak sesuai dengan nilai-nilai ilmiah yang penuh kejujuran dan bertanggungjawab. Begitupun buku Greget Tuanku Rao yang banyak memutarbalikkan fakta yang sebenarnya.
Oleh sebab itulah, reprint Buku Tuanku Rao dan Greget Tuanku Rao menyalahi ketentuan yang berlaku. Apalagi kebenaran kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sudah tertuang dalam buku yang kebenarannya tidak diragukan karena sudah melalui penelitian dan telah mendapat penilaian mendalam dari tim ahli dalam penetapan Pahlawan Nasional RI.
Kami berpandangan terbitnya Buku Tuanku Rao dan Greget Tuanku Rao semata-mata melecehkan dunia ilmiah karena tidak sesuai dengan kebenarannya. Kehadiran buku tersebut merupakan upaya pembohongan publik dan merusak marwah masyarakat Minang dan masyarakat Melayu Riau serta dapat menimbulkan konflik SARA (Suku, Agama, Ras, dan antar Golongan)
V. REKOMENDASI
1. Masyarakat Melayu Riau menentang peredaran Buku Tuanku Rao dan Greget Tuanku Rao karena tidak sesuai dengan fakta sejarah.
• Mendesak Pemerintah RI (Kejaksaan Agung) supaya kedua buku tersebut dilarang terbit dan buku yang masih beredar ditarik kembali.
• Karena dinilai adanya unsur pembohongan publik, maka kepada aparat penegak hukum untuk mengusut dan menindak yang terlibat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
VI. BAHAN RUJUKAN
Tor Seminar Sejarah Perang Paderi 1803-1838….,
Majalah Tempo edisi, 15-21 Oktober 2007;
M.O. Parlindungan Tuanku Rao, LKiS, 2007;
Soedarmanta, J.B. Jejak-jejak Pahlawan, Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia, Jakarta, 1992;
Itulah makalah yang disampaikan Prof. Drs. Suwardi, M.S. Setiap pembaca, dapat menilai kualitas makalah ini.
Batara Hutagalung dalam makalahnya Beberapa Catatan Mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi antara lain berbicara tentang buku Greget Tuanku Rao. Batara Hutagalung antara lain menyebutkan bahwa Basyral Hamidy Harahap menulis di dalam buku Greget Tuanku Rao membantah beberapa hal yang ditulis oleh Mangaraja Onggang Patlindungan, namun dia membenarkan terjadinya tindak kekerasan seperti perkosaan yand dilakukan oleh tentara Paderi. Di bagian lain makalahnya, Batara Hutagalung mengutip buku Greget Tuanku Rao yang menyebutkan bahwa, Datu Bange telah beragama Islam, namun tidak mau menerima aliran Islam yang dibawa oleh Tuanku Tambusai. Lama sebelum gerakan Paderi, mereka sudah memeluk Islam. Selanjutnya Batara Hutagalung menyebutkan bahwa Basyral Hamidy Harahap menyatakan bahwa Datu Bange bukan perampok, melainkan Kepala Luat Dolok, raja paling kharismatik di Padang Lawas Raya yang dicintai oleh rakyatnya. Bahwa, ulama-ulama sufi sangat besar peranannya di Mandailing yang menyebarkan agama Islam di daerah itu berabad sebelum Paderi datang (Greget Tuanku Rao, halaman 68).
H. Bismar Siregar, S.H. menyebutkan pada beberapa butir dalam makalahnya sebagai berikut:
Butir 5a: Adanya perbedaan akhir-akhir ini dengan adanya buku Tuanku Rao karya Mangaraja Onggang Parlindungan dilengkapi buku karya Basyral Hamidy Harahap Greget Tuanku Rao tentang peran tokoh Batak-Mandailing dalam perang Padri, mengundang keraguan pemberian tanda jasa sekaligus helar Kepahlawanan kepada Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai mengingat jasanya mengobarkan perang Padri tidakkah layak juga gelar itu diberikan kepada pahlawan-pahlawan dari suku Batak-Mandailing seperti Tuanku Rao, Tuanku Lelo dan lainnya memerlukan penelitian yang objektif.
Butir 5b: Tentu untuk itu memerlukan penelitian sejarah dan telah ada ahlinya Sdr. Basyral Hamidy Harahap yang telah menulis hasil telitiannya dalam buku Greget Tuanku Rao. Sungguh berharga bila buku tersebut dijadikan pelengkap buku karya Magaraja Onggang Parlindungan Siregar berjudul Tuanku Rao. Memang patut diakui banyak kekurangan, memang benar buku ditulis bukan untuk studi ilmiyah. Sekedar pesan warisan bagi anaknya Dear Sonny.
Butir 5c: Dua buku setepatnya dijadikan awal bacaan mengingat-ingat sejauh manalah kebenaran pahlawan-pahlawan Batak-Mandailing ini ikut berperan dalam perang Padri sampai ada di antara mereka yang meninggal di medan laga Airbangis sedangkan Tuanku Imam Bonjol siap menyerah untuk ditetapkan hidup di pembuangan di luar kampung halaman yang dicintai di Manado.
Butir 5d: Ada hasrat dan keinginan sementara fihak agar diadakan kajian kembali terhadap pejuang-pejuang Islam itu untuk dipertimbangkan layak atau bukan diberikan gelar Pahlawan Nasional.
Ketika Batara Hutagalung mendapat kesempatan menjawab pertanyaan peserta, ia berkata: “Kalau diizinkan oleh moderator dan ibu-ibu dan bapak-bapak sekalian, saya ingin memberikan hak jawab saya kepada Bapak Basyral Hamidy Harahap. Karena saya pikir, beliau mempunyai hak mebela diri, karena di sini ada sebuah paper yang mengacu pada buku Greget Tuanku Rao,” kata Batara Hutagalung.
Saya berterima kasih kepada Batara Hutagalung yang masih kental mengamalkan salah satu nilai luhur budaya Batak, ialah menjunjung tinggi jambar hata, ialah hak dan kewajiban berbicara yang harus diberikan kepada orang yang berhak dan wajib berbicara.
Saya merekam seluruh acara itu agar lebih bermanfaat bagi pemahaman tentang apa saja yang dipikirkan oleh pemakalah dan penanggap tentang Perang Paderi dan sejauh mana Islam dan adat mendasari perilaku orang Minangkabau dalam kehidupan sehari-hari. Saya juga merekam kata-kata saya untuk menanggapi makalah Prof. Drs. Suwardi, M.S. Seorang peserta yang ternyata adalah tetangga saya dan kami adalah jamaah satu masjid yang sama, mengatakan bahwa saya pernah menceritakan keberadaan buku Greget Tuanku Rao dalam salah satu ceramah saya di masjid kami. Ia berkesimpulan bahwa buku Greget Tuanku Rao adalah turi-turian sehingga anak-anaknya tak perlu meluangkan waktu untuk membacanya. Ia adalah ketua alumni suatu SMA Negeri di Riau yang berdomisili di Jakarta. Inilah transkripsi tanggapan saya:
Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuh,
Terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesempatan ini dan terima kasih juga kepada Profesor Suwardi, dari yang memimpin Tim Riau, dan terima kasih sekali lagi karena sudah mengangkat nama saya di sana (sambil saya tunjuk tulisan yang ditayangkan power point). Dan hanya saya kecewa, di dalam rujukan yang bapak tulis ini, bapak tidak membaca buku Greget Tuanku Rao (Profesor Suwardi menyahut dari kursi panelis “Ya saya belum membaca”). Bapak hanya membaca TEMPO, tahulah bagaimana surat kabar berbicara. Oleh karena itu, saya anjurkan kepada Bapak, semua Tim dari Riau ini, semua kita ini, bacalah buku Greget Tuanku Rao dengan lapang dada dan sabar.
Saya hanya sedikit sekali bicara tentang Paderi di situ. Tentang pertanyaan saya itu, kemudian menjadi membludak begitu rupa. Saya banyak bercerita tentang bagaimana pembangunan di Mandailing, bagaimana mega proyek pembuatan jalan 90 kilometer dari Panyabungan sampai ke Natal yang hebat sekali mengangkat nama Mandailing sampai sekarang ini. Itu tidak pernah dilihat orang. Bagaimana peranan Willem Iskander dalam bidang pendidikan dll.
Hanya karena pertanyaan itu, kemudian semua orang menjadi mabuk. Dan tanpa membaca buku ini, berani membuat makalah semacam ini. Ya, hanya membaca TEMPO yang begitu. Tahulah bahasa TEMPO, ya. Itu, berita TEMPO itu, tiga jam kami berdiskusi mengenai soal itu. Kemudian dia tampilkan begitu. Dan belum tentu seluruhnya saya setuju dengan yang disampaikan oleh TEMPO.
Jadi, tadi ada yang menanyakan, “Apa maksudnya?” Maksudnya tidak ada apa-apa. Supaya tahu, dari awal saya tadinya diminta oleh suatu penerbit untuk membuat pengantar buku Tuanku Rao karya Mangaraja Onggang. Tetapi, Saudara Dorpi mengatakan “Saya tidak mau buku ini dirobah, dan tidak boleh ada pengantar yang lain.”
Oleh karena itu Komunitas Bambu mengatakan “Coba bang, tulis buku aja.” Dan saya tulis selama tiga bulan, siang malam. Siang malam, kadang-kadang dua hari tidak tidur. Sehingga ada kesalahan ketik antara lain pada halaman 87 yang seharusnya Dante Alighieri tetapi saya tulis orang lain.
Nah, jadi tidak ada maksud lain-lain, hanya menceritakan sejarah. Bahwa itu juga turi-turian, terserah kepada tetangga saya yang di sana. Mungkin jamaah masjid saya juga, waktu saya cerita bahwa buku ini akan terbit. Apa itu turi-turian, apa itu buku sejarah, mungkin tidak ada gunanya, terserah. Ini barangkali tujuan saya adalah mendorong orang, cobalah menulis yang lebih baik, cobalah dari Riau itu menulis sebanyak-banyaknya lagi. Buktikan, semakin banyak kita menulis, semakin baik. Bukan malah melarang seperti pak Batara katakan.
Demikian, dan saya sendiri sebagai latar belakang, saya 26 tahun bekerja di Perwakilan Indonesia Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde. Setiap orang bilang, kalau belajar tentang Indonesia pergilah ke Belanda. Itulah kantor saya. Saya mondar mandir ke [Leiden] sana. Setiap kali saya ke sana, saya kumpulkan bahan-bahan.
Dan tidak mesti kita benci kepada bahan-bahan yang ada di Negeri Belanda. Jadi, para ahli yang mungkin ada di sini barangkali mengakui Adatrechtbundel yang diterbitkan oleh kantor saya itu, itulah buku suci bagi ahli hukum, dan [mereka] membaca Adatrechtbundel ketika hendak menjadi ahli hukum Indonesia.
Itu saja dari saya, dan mohon maaf kalau ini terlalu tegas. Tetapi tidak ada maksud apa pun juga, hanya karena mendorong orang supaya menulis lagi (tepuk tangan hadirin). Seperti saya didorong oleh Mangaraja Onggang supaya saya menulis. Apakah [buku] ini turi-turian atau tidak, terserah kepada bapak tetangga saya ini. Terserah. Enak dibaca, tidak enak dibaca, bohong, silahkan.
Cari bukti-bukti, kakek moyang saya itu perampok menurut panitia yang tadi bapak kutip itu, panitia yang dari Medan, silahkan. Tetapi saya buktikan, tidak! Jadi, silahkanlah menulis. Siapa saja pun juga, dari Riau, dari mana-mana pun juga. Silahkan menulis. Terima kasih (tepuk tangan hadirin).
GREGET TUANKU RAO
Bagi yang belum membaca buku saya Greget Tuanku Rao, saya sajikan di sini daftar isinya sbb.:
Prolog Perkenalan saya dengan MOP. Alasan menulis buku Greget Tuanku Rao:
1) Mengoreksi kesalahan buku Tuanku Rao,
2) Menulis tentang hal-hal yang luput dari perhatian MOP,
3) Menulis tentang hal-hal yang tidak diketahui oleh MOP.
Nama delapan orang peneliti asing yang saya kenal fasih berbahasa daerah masyarakat yang mereka teliti.
Bab I: Bayo Parturi
Fungsionaris Pemerintah Tradisional ada 25 jabatan, termasuk Martua Raja sebagai Panglima Perang (7), Panto Raja sebagai Ahli Sejarah dan Sastra, Juru Kisah (Parturi). Biodata Sutan Martua Raja ayah MOP dan foto MOP ketika berusia 6 tahun berdiri di samping ayahnya. Uraian tentang Bayo Parturi.
Bab II: Marga Babiat
Silsilah Marga Babiat, dilengkapi silsilah sampai dengan Datu Bange generasi XII. Raja Hurlang, adik Datu Bange, mempunyai anak bernama Bandaro yang menetap di Sihepeng, Mandailing Godang. Pergaulan manusia dan harimau.
Bab III: Datu Bange
Datu Bange, Raja Simanabun, yang melawan Tuanku Tambusai di Luat Dolok. Gerakan Tuanku Tambusai. Semangat juang Datu Bange mempertahankan tanah air, harkat dan martabat kaumnya mirip dengan semangat pejuang Indian Geronimo dan tokoh fiktif Indian, Winnetou, karya Karl May.
Bab IV: Kontroversi
Kutipan beberapa bagian dari buku Tuanku Rao yang kontroversal.
Bab V: Tuanku Imam Bonjol
Naskah Tuanku Imam Bonjol yang ditulisnya sendiri halaman 1-191 dan yang ditulis oleh anaknya sendiri Sultan Caniago dari halaman 192 – 318. Wasiat Tuanku Imam Bonjol. Tuanku Imam Bonjol menyerah. Kita bertanya tentang kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai.
Bab VI: Perantau Mandailing
Keberadaan perantau Mandailing di Pasaman sudah ada berabad sebelum lahirnya gerakan kaum Paderi. Mereka tampil sebagai petani, pedagang, guru mengaji, pengurus masjid, zakat, dan wakaf. Merekalah yang menyebarkan Islam ke Mandailing berabad sebelum perang Paderi.
Bab VII: Para Pengagum
Ada tiga orang pengagum MOP, ialah Prof.Dr. Slametmulyana, Hamka dan Bismar Siregar.
Bab VIII: Eduard Douwes Dekker (Multatuli)
Pengalaman Eduard Douwes Dekker (Multatuli) ketika menjabat Kontrolir Natal 1842-1843. Sajak Multatuli tentang kehidupan nelayan Natal.
Bab IX: Duet Godon Dengan Yang Dipertuan
Asisten Residen Mandailing Angkola, Alexander Philippus Godon (1816-1899) selama sembilan tahun (1848-1857) bekerjasama dengan Yang Dipertuan Hutasiantar, membangun masyarakat, antara lain: mega proyek pembangunan jalan ekonomi 90 kilometer dari Panyabungan ke Natal, pembangunan sekolah-sekolah, menghapuskan perbudakan, penataan ekonomi, perbaikan kampung, kesehatan masyarakat, komoditi ekspor kopi dan lem elastik, penanaman kelapa dan pencetakan sawah.
Bab X: Willem Iskander
Sati Nasution gelar Sutan Iskandar yang kelak terkenal dengan nama Willem Iskander (1840-1876) pelopor pendidikan guru bumiputera dengan mendirikan Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers di Tanobato 1862, dan pengarang antara lain karyanya Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk pertama kali diterbitkan di Batavia 1872. Bab ini berisi cuplikan hasil penelitian saya sejak 1975 sampai dengan 2006 tentang Willem Iskander dan karyanya, termasuk daftar karya Willem Iskander, daftar murid yang menjadi guru dan pengarang. Beberapa sajak Willem Iskander. Cuplikan naskah buku Balada Willem Iskander, ialah jejak langkah Willem Iskander dan penelusuran saya mencari jejak Willem Iskander.
Bab XI: Pionir Yang Terlupakan
Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada (1874-1927) pendiri Indische Vereeniging, di Leiden tanggal 25 Oktober 1908, yang menjadi cikal bakal Perhimpoenan Indonesia. Ja Endar Muda Harahap raja surat kabar Sumatera yang mendirikan surat kabar di Padang, Sibolga, Medan dan Aceh. Pengaruh Willem Iskander.
Bab XII: Hilang Tak Berbekas
Peranan para ulama sufi mengembangkan agama Islam di Mandailing Natal sebelum ada gerakan Paderi. Paderi tak meninggalkan kesan di tengah masyarakat yang sudah terlebih dahulu memeluk Islam.
Epilog Harapan agar penulis lain menulis lebih banyak lagi.
Bacaan Rujukan
Delapan halaman terdiri dari 70 entri.
Biodata Itulah ringkasan buku Greget Tuanku Rao. Uraian saya tentang Tuanku Imam Bonjol dan pengikutnya yang bersumber pada manuskrip Tuanku Imam Bonjol sendiri, uraian tentang serangan-serangan pasukan Tuanku Tambusai di Padang Lawas dan Barumun, dan pertanyaan saya tentang kepahlawanan dua Pahlawan Nasional itu, telah membuat gusar masyarakat Minangkabau dan Melayu Riau.
Sehingga keberadaan buku Greget Tuanku Rao ikut menjadi alasan penyelenggaraan Panel Diskusi Sejarah Perang Paderi di gedung Arsip Nasional R.I. tanggal 22 Januari 2008. Uraian dan pertanyaan itu pula yang mendorong masyarakat Melayu Riau mengusulkan agar Kejaksaan Agung R.I. melarang buku Greget Tuanku Rao, seperti disebutkan di dalam makalah masyarakat Melayu Riau yang dibacakan oleh Prof.Drs. Suwardi, M.S.
SIAPA TUANKU TAMBUSAI ?
Siapa Tuanku Tambusai? Uraian di bawah ini membantah pernyataan Prof.Drs. Suwardi, M.S. di dalam makalahnya yang tidak mengakui bahwa Tuanku Tambusai adalah Hamonangan Harahap. Kita dapat membaca ranji silsilahnya dalam buku Pahlawan Nasional Tuanku Tambusai (Hamonangan Harahap/Muhammad Saleh): Sejarah Ringkas Kehidupan dan Perjuangannya pada halaman 22 dan 23 yang diterbitkan oleh Tim Pengumpulan, Penyusunan dan Penulisan Sejarah Perjuangan Tuanku Tambusai di Propinsi Sumatera Utara.
Hamonangan Harahap senior mendapat gelar Malim Kaha kemudian bergelar Haji Ibrahim Sutan Malenggang menikah dengan Kosum. Pasangan ini melahirkan Maulana Kadhi. Maulana Kadhi menikah dengan Munah yang melahirkan Muhammad Saleh yang kemudian dikenal dengan nama Tuanku Tambusai. Leluhur Tuanku Tambusai dari pihak ibunya adalah: Munah (ibu Tuanku Tambusai) adalah anak perempuan dari pasangan Judah dan Paduko Lelo. Judah adalah anak perempuan dari pasangan Datuk Ulak dan Podi (lihat juga Greget Tuanku Rao halaman 56 dan 57).
Silsilah ini disyahkan oleh Lembaga Kerapatan Adat Melayu Datuk-Datuk Pucuk Suku Dalu-dalu Tambusai dalam rapat di rumah Tengku Darwis, di Dalu-dalu, pada tanggal 6 November 1994 bersamaan dengan 2 hari bulan Jumadil Akhir antara pukul 20.00 s.d. 22.30. Silsilah ini ditanda tangani oleh 17 para Ketua Lembaga Adat, Cerdik Pandai termasuk B. Ar. Pulungan, S.H. Ketua Himpunan Keluarga Tapanuli Selatan dan Ketua Tim Pengumpulan, Penyusunan dan Penulisan Sejarah Perjuangan Tuanku Tambusai Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara.
Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar, dalam surat Rekomendasi Pengusulan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional kepada Menteri Sosial, nomor 464.1/5161 tanggal 8 Maret 1995, menyebutkan antara lain “… catatan sejarah yang kami himpun, diketahui bahwa leluhur Tuanku Tambusai bernama Hamonangan Harahap/Malim Kaha berasal dari Tapanuli Selatan dan daerah perjuangan Tuanku Tambusai meliputi wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Riau…”
Gubernur Riau, Soeripto, dalam suratnya kepada Direktur Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial R.I. nomor 464.1/BINSOS/1113 tanggal 17 April 1995, perihal Kebenaran nama, ahli waris dan asal usul calon Pahlawan Nasional Tuanku Tambusai dengan merujuk surat Gubernur Sumatera Utara nomor 464.1/5161 tanggal 8 Maret 1995 itu menyebutkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pemerintah Daerah yang mewakili dalam upacara penyerahan gelar Pahlawan Nasional terhadap Tuanku Tambusai adalah Pemerintah Daerah Tingkat I Riau dengan disaksikan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat.
2. Ahli waris yang akan mewakili almarhum Tuanku Tambusai adalah Saleh Djasit, S.H., Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kampar.
3. Mengenai nama, riwayat hidup, dan riwayat perjuangan Tuanku Tambusai adalah sebagaimana tercantum dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan Tuanku Tambusai terlampir, dan telah mendapat persetujuan dari Tim Pengumpulan, Penyusunan dan Penulisan Sejarah Perjuangan Tuanku Tambusai di Propinsi Sumatera Utara.
RENUNGAN
Orang yang keberatan atas pertanyaan saya, terpaku pada apa yang tertulis. Mereka tak melihat apa yang tersirat dalam pertanyaan itu. Yang tersirat adalah: Sudah saatnya kriteria Pahlawan Nasional dirumuskan dan dibakukan sehingga berlaku pada semua Pahlawan Nasional. Kriteria itu harus disosialisasikan sedemikian rupa, seperti Pancasila, kepada murid dan pelajar sejak duduk di bangku Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan. Sehingga kelak setiap warganegara mengetahui dengan jelas apa syarat-syarat penetapan seseorang sebagai Pahlawan Nasional.
Seseorang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional tidak hanya karena pernah mengangkat senjata berperang melawan kolonial Belanda atau diperangi oleh kolonial Belanda, tetapi juga termasuk orang yang berprestasi luar biasa menegakkan keadilan dan kebenaran dalam mengangkat harkat dan martabat bangsa.
Sebagai contoh, Adam Malik yang ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional pada tanggal 9 November 1998. Saya sebagai seorang sahabat dan murid Adam Malik, dan sebagai salah seorang pendiri dan pengurus Yayasan Adam Malik, mengambil prakarsa mengajukan Adam Malik sebagai Pahlawan Nasional sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Sebagai penutup, perlu ada perenungan untuk mendesakralisasi para Pahlawan Nasional dengan mendudukkan mereka sebagai manusia biasa, yang memiliki banyak keunggulan dan tidak sedikit juga kelemahannya. Hal ini diperlukan, agar kita bisa lebih dekat dengan mereka, sehingga kita lebih dapat memahami makna perjuangan mereka. * **
posted at 05:30:59 on 01/27/08 by rajungan - Category: General
Tersebutlah sebuah kampung bernama Besilam. Letaknya, nun, di Tanjungpura sekitar 60 km dari Medan Sumatera Utara. Kampung tersebut sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan dusun-dusun lain di pelosok Indonesia: bersahaja di tengah kerimbunan pepohonan. Sebagian cat rumah panggung memudar disengat masa. Lalu apa yang istimewa dari kampung tersebut? Besilam memiliki kekayaan makna ketika sederhana. Tak percaya?
Simaklah kisah berikut: Syahdan seorang ulama legendaris, bernama Syeikh Abdul Wahab Rokan, hadir di Sumatera. Ia terdidik dengan ilmu agama sedari kecil. Perangainya berbeda dibandingkan kebanyakan kanak-kanak. Ia lebih suka mengasingkan diri dengan kitab agama daripada bermain. Dibandingkan teman seperguruan, Abdul Wahab Rokan sangat patuh dan menghormati guru, sebagai sumber ilmu. Tak mengherankan, saat menuntut ilmu di Hijaz (Mekkah), ia dinyatakan lulus dan berhak menerima ijazah tarekat Naqsyahbandiyah. Dengan demikian, Wahab berhak menyebarkan tarekat yang mendidik keras pengikutnya di jalan agama tersebut.
Sepulang dari Mekkah, Wahab bersahabat dengan Raja Deli, bahkan, dihadiahkan kawasan liar untuk pemukimannya. Wahab pun membangun kawasan itu dengan membuka perkampungan. Ia menabalkan salah satu nama pintu di Masjidil Haram kepada kampung tersebut: Babussalam. Babussalam yang lama-kelamaan lebih dikenal dengan panggilan Besilam segera menjadi pusat perhatian. Namanya, seperti juga pendirinya, harum dan berwibawa. Tak hanya di Sumatera, nama tersebut berbinar hingga ke Malaysia. Kenapa?
Seperti jamaknya kisah para syeikh di Sumatera, Abdul Wahab Rokan menjadikan kampung yang dibukanya itu, sebagai pusat peribadatan. Di sana, di balik rimbunan pepohonan, ia mengajarkan jalan ruhani menuju-Nya melalui tarekat Naqsyabandiyah. Muridnya mengalir dari pelbagai penjuru: mulai dari pelosok di Sumatera hingga Malaysia. Babussalam kini tidak sekadar sejarah. Siapapun yang berkunjung ke sana, dan mampu melihat dengan mata hati, niscaya menyaksikan tanda-tanda kemahabesaran-Nya.
Simaklah: penduduk lama Medan, hingga kini mensandingkan imej jalan ruhani terhadap Babussalam. Kendati pendirinya telah hampir seratus tahun wafat, ritual kehidupannya tetap seperti semula ada: di tengah keterpencilan dan kerimbunan pepohonan, para pencahari jalan ruhani, hingga kini tetap menuju ke sana. Seperti para pendahulu, murid-murid tarekat mengalir dari pelbagai penjuru. Dengan bimbingan mursyid, mereka mengasingkan diri di rumah panggung, menuju pencaharian jalan kepada-Nya. Laku mereka sehari-hari ialah mencelupkan ruh kepada lautan dzikir: Allah, Allah, Allah, Allah.
Di saat adzan berkumandang, para pencahari jalan kepada-Nya itu, keluar dari rumah-rumah panggung. Mereka berduyun dengan wajah yang bercahaya menuju ke masjid. Sedangkan penduduk setempat segera menghentikan kesibukan perniagaan, untuk menunaikan shalat berjamaah. Semua ini menjadi karunia-Nya terhadap pendiri kampung yang hingga kini bersisa kendati Abdul Wahab Rokan telah wafat. Begitulah ritus kehidupan sehari-hari di Babussalam. Kehidupan mengalir damai. Tiada gegas kesibukan.
Tiada penyakit hati yang menyembul: mengapa si polan kaya, saya tidak. Kenapa si X menjadi penguasa padahal tidak ada apa-apanya. Penyakit sosial semacam itu teredam dengan laku peribadatan dan lautan dzikir. Pernahkah Anda menyaksikan kampung yang berjarak dari gemuruh penyakit sosial? Saya beruntung pernah ke sana. Seseorang dari gemuruh kehidupan metropolitan ketika sejenak singgah ke sana, merasakan keteduhan yang asing, kesejukan peribadatan. Maka bukalah pori-pori batin, resapi atmosfer yang menaungi kampung yang senantiasa berdzikir itu, niscaya kita merasakan keteduhan, kedamaian, apapun namanya tetapi sesuatu yang hilang ditelan keingaran Jakarta.
Kenapa Babussalam mampu memberikan atmosfer keteduhan? Pertanyaan yang menggelitik itu, menyebabkan saya semakin mempercayai kemahakuasaan-Nya. Gaya hidup yang memuja kehidupan duniawi menyebabkan kita serakah, bahkan, sulit membedakan yang hak dan batil. Di saat yang batil merasuki raga, dapatkah pori-pori ini menerima rangsangan dzikir? Ketika kegenitan duniawi menghalangi pandangan, mampukah mata hati menyaksikan aura ilahiyah? Kita seringkali sulit membedakannya.
Penyebabnya kita semakin tidak mengetahui mana yang hak dan batil. Perspektif hidup kita, ah pernahkan kita merenungkan betapa kita sangat didominasi budaya Eropah sejak abad pertengahan , dengan datuk-datuk pemikir sejak Descrates hingga Nicolo Machiaveli yang memuja rasionalitas, hak individual, hingga ukuran kehidupan berwujud pada materialisme, menyebabkan kita tidak mampu melihat dengan mata hati. Kita pun membangun rumah yang serba glamour seperti istana. Tapi, adakah seseorang yang terbiasa membuka pori-pori batin dan melihat dengan mati hati, betah di istana tersebut?
Rumah istana yang tidak mendapatkan cahaya-Nya justru senantiasa suram (pernahkah Anda menyaksikan rumah seperti istana tetapi merasa rangsang batin tidak tersentuh? Sebaliknya rumah mungil yang justru menawarkan kedamaian?) Bila Babussalam yang hanya kampung kecil menawarkan keteduhan, agaknya, karena ia menjadi muara dzikir. Laku ibadah menjadi denyut kehidupannya. Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Robbnya dan yang tidak, seumpama orang hidup dan orang yang mati (HR. Bukhari dan Muslim). Di hadis yang lain, kita pun menyimak pernyataan Rasul SAW, malaikat menghampiri setiap majelis dzikir.
Rasul SAW (HR Adailami) pun memperumpamakan seseorang yang tawakkal dalam dzikirnya laiknya dinaungi cahaya-Nya. Apa makna semua perumpamaan itu? Bila penduduk suatu negeri hidup dalam laku ibadah dan etika keislaman, insya Allah atmosfer di negeri itu teduh. Kampung yang berdzikir seperti Babussalam, kota suci yang menjadi pusat peribadatan seperti Mekkah dan Madinah, membuktikan tesis tersebut. Bahkan Mekkah yang saya andaikan sebagai simbol pergulatan kehidupan di dunia, senantiasa menawarkan kesejukan zamzam bagi pejalan ruhani.
Di tengah pergulatan hidup di sekeliling Masjidil Haram yang ingar dengan perniagaan, wahai pejalan ruhani yang dahaga, menyisihlah ke Masjidil Haram. Teguk keteduhan, kesejukan, dan keagungan yang menjadi atmosfer Masjid Haram. Apalagi di Masjid Nabawi yang laiknya sepotong surga di muka bumi ini. Semua itu menyebabkan pejalan ruhani yang dahaga senantiasa memiliki kerinduan, senantiasa ingin kembali ke kedua kota suci tersebut, untuk membasuh ruhnya dengan atmosfer ilahiyah.
Bila Babussalam, Mekkah maupun Madinah, mampu dinaungi atmosfer dan aura ilahiyah, mengapa kita tidak menciptakannya mulai dari rumah sendiri? Membiasakan bersama anggota keluarga shalat berjamaah, membaca Alquran dan membentuk majlis dzikir bersama anggota keluarga, insya Allah membuat rumah yang semula suram akan bercahaya. Bila setiap rumah telah bercahaya, maka insya Allah Jakarta menyemburatkan atmosfer dan aura ilahiyah, menjadi ibukota yang damai!
Benteng ini dikenal pula dengan "Benteng Aur Duri" sebagai kubu pertahanan terakhir pejuang dalu-dalu dibawah pimpinan Tuanku Tambusai "Harimau Paderi Dari Rokan" melawan serbuan kaum kolonial Belanda.
Kubu pertahanan ini menjadi saksi bisu keperkasaan kepahlawanan dan semangat pantang menyerah dari anak negeri Tuanku Tambusai, yang telah wafat dan dimakamkan di negeri seberang Saremban Malaysia. Beliau mendapat anugerah dari Pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Pertama di Riau.
Benteng ini terdapat di Desa Dalu-dalu Kecamatan Tambusai, yang berjarak lebih kurang 252 dari Kota Pekanbaru.
ARKIB : 09/04/2007
Tuanku Tambusai pejuang Melayu Riau
Oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah
NAMA beliau turut disentuh dalam kertas kerja saya pada seminar oleh keluarga Rao atau Rawa di Raub, Pahang dan artikel Syeikh Muhammad Murid Rawa, disiarkan Utusan Malaysia, bertarikh 19 Mac 2007.
Tidak ramai memahami bahawa ulama dan pahlawan ini telah menyemaikan benih anti penjajah. Beliau ikut dalam peperangan Imam Bonjol di Sumatera Barat. Akhirnya terpaksa hijrah ke Negeri Sembilan dan meninggal dunia di situ.
Wujud persamaan dengan Raja Haji berperang melawan Belanda bermula di Riau melalui Linggi, Rembau dan lain-lain di beberapa tempat dalam Negeri Sembilan akhirnya tewas di Melaka sebagai seorang syahid fi sabilillah. Oleh kerana Tuanku Tambusai meninggal dunia di Negeri Sembilan sedikit sebanyak tentu beliau telah menyemaikan benih berjuang kepada bangsa Melayu di Negeri Sembilan khususnya dan Semenanjung umumnya yang dijajah oleh Inggeris pada zaman itu.
Sejarah adalah penting perlu kita kaji dan perkenalkan kepada masyarakat luas. Ketika saya menghadiri seminar yang diadakan oleh keluarga Rao atau Rawa di Raub, Pahang, Ahad, 18 Mac 2007 M/28 Safar 1428 H yang lalu, di luar acara rasmi Tuan Mohd. Said bin Haji Mohd. Razi, Pengerusi dan Ketua Projek, Persatuan Sejarah Malaysia Cawangan Selangor menghadiahkan kepada saya sebuah buku berjudul, Sejarah Negeri Selangor, Dari Zaman Prasejarah Hingga Kemerdekaan, diterbitkan tahun 2005.
Manakala saya baca Perutusan Menteri Besar Selangor dan Kata Pengantar Persatuan Sejarah Malaysia Cawangan Selangor, saya simpulkan bahawa Kerajaan Negeri Selangor telah mengeluarkan dana yang besar untuk melakukan penyelidikan. Termasuk beberapa orang panel penulis ke tempat-tempat di Indonesia yang ada hubungan dengan Selangor. Saya berkesimpulan bahawa hampir semua tokoh, sama ada di Malaysia atau sebaliknya Indonesia termasuk Tuanku Tambusai, dan lain-lain mempunyai hubungan yang sangat erat.
Bahkan sejak lama serumpun Melayu sejagat selalu bekerjasama dalam gerakan dakwah Islam, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Jadi tidak hairanlah Tuanku Tambusai berkemungkinan sebab-sebab tertentu terpaksa berpindah dari Sumatera (beliau beroperasi di Minangkabau dan Riau) ke Negeri Sembilan.
PENDIDIKAN
Bermacam-macam ramalan sewaktu anaknya yang dinamakan Muhammad Shalih dilahirkan kerana pada waktu itu terjadi hujan ribut disambut kilat, guruh-petir sabung-menyabung. Tetapi kerana Imam Maulana Qadhi seorang alim yang terpelajar, yang faham akidah Islam beliau tolak sekalian ramalan yang bercorak khurafat secara bijaksana.
Bayi tersebut dipersembahkan kepada Duli Yang Dipertuan Besar Raja, Permaisuri Duli Yang Dipertuan Besar Raja berkata, “Kita doakan apabila dia alim nanti menjadi suluh dalam negeri. Kalau dia seorang berani menjadi pahlawan. Sekiranya dia kaya menjadi penutup malu. Sekiranya dia menjadi cerdik bijaksana adalah penyambung lidah untuk kebenaran dan keadilan." (Rokan Tuanku Tambusai Berjuang, H. Mahidin Said, cetakan kedua, hlm. 30).
Oleh sebab ayahnya seorang Imam Tambusai dan seorang alim sudah pasti Muhammad Shalih mendapat pendidikan awal dan asas daripada ayahnya sendiri. Sungguhpun ketika Muhammad Shalih meningkat dewasa beliau dihantar ke Rao yang lokasinya berdekatan dengan Tambusai. Setelah mendapat pendidikan Islam di Rao dan Bonjol beliau lebih dikenali dengan nama “Faqih Shalih”.
Menurut tradisi di daerah, apabila seseorang itu menguasai ilmu fikah maka dia digelar dengan “Faqih”. Ini bererti Muhammad Shalih sejak muda lagi telah diakui oleh masyarakat sebagai seorang yang alim dalam bidang ilmu fikah. Sudah menjadi lumrah dalam dunia dari dulu hingga kini ada saja raja atau umara (pemerintah) yang sepakat dengan ulama. Yang inilah yang dianjurkan oleh Rasulullah s.a.w. Ada pula antara umara yang tidak sepakat dengan ulama. Ulama yang masih muda bernama Faqih Shalih yang tersebut diriwayat memang bertentang dengan raja yang memerintah ketika itu.
Walau bagaimanapun Faqih Shalih meminta nasihat kepada dua orang ulama. Yang pertama ialah Tuanku Imam Bonjol (nama yang sebenarnya ialah Peto Syarif). Yang kedua ialah Tuanku Rao (nama yang sebenarnya dipertikai pendapat). Kedua-duanya menasihatkan supaya Faqih Shalih pergi haji ke Mekah. Sewaktu di Mekah, Faqih Shalih sempat memdalami ilmu di sana. Di antara ulama yang sedaerah dengannya (yang saya maksudkan berasal dari persekitaran Minangkabau, Tapanuli dan Riau) di antaranya ialah Syeikh Ismail bin Abdullah al-Khalidi an-Naqsyabandi dan lain-lain.
Beliau ini termasuk murid Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Dipercayai Faqih Shalih selama berada di Mekah sempat belajar kepada ulama yang berasal dari Patani itu.
Sebagaimana tulisan saya dalam kertas kerja seminar di Raub, Pahang bahawa sukar menjejaki yang bernama Muhammad Shalih itu, dalam zaman yang sama ada Muhammad Shalih bin Muhammad Murid Rawa dan ada pula Faqih Shalih sedang Tuanku Rao tidak diketahui nama sebenarnya. Ada pendapat bahawa Tuanku Rao seorang guru pada Faqih Shalih. Ada kemungkinan Tuanku Rao adalah orang tua (ayah Faqih Shalih).
Setelah kembali dari Mekah, Faqih Shalih lebih dikenali "Haji Muhammad Shalih". Dan selanjutnya dalam Perang Imam Bonjol atau Perang Paderi, beliau lebih dikenali sebagai "Tuanku Tambusai" selanjutnya digunakan nama ini.
Sudah menjadi sejarah perkembangan dunia bahawa sama ada disukai atau pun tidak, peperangan bila-bila masa boleh terjadi. Agama Islam bukanlah agama yang menganjurkan peperangan tetapi jika ada usaha-usaha agama selainnya menodai Islam maka konsep jihad memang sudah menjiwai hampir seluruh individu Muslim. Hal ini adalah hampir sama dengan jiwa kebangsaan individu sesuatu negara atau sesuatu bangsa bahawa hampir setiap individu dalam sesuatu negara adalah tidak suka negaranya dijajah.
Memperjuangkan sesuatu negara atau bangsa telah menjiwai setiap penduduk dunia sama ada yang beragama Islam dan agama-agama lainnya termasuk orang yang tidak beragama sekalipun. Oleh sebab Belanda telah menjajah Minangkabau, Sumatera Barat, maka adalah wajar rakyat bertindak melawan penjajah itu apatah lagi yang datang menjajah itu tidak seagama pula.
Tuanku Tambusai dan kawan-kawan bersamanya bergabung dalam satu wadah yang dinamakan "Kaum Paderi" yang dipimpin oleh Peto Syarif yang kemudian terkenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. Menurut buku, 101 Pahlawan Nasional, Departemen Sosial Republik Indonesia bahawa "Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai bekerjasama dalam perjuangan tetapi tidak bererti yang satu membawahi yang lain kerana mereka merupakan tokoh-tokoh yang otonom." (hlm. 517).
Perang paderi
Bunga api Perang Paderi mulai bertaburan pada tahun 1803 yang dihidupkan oleh Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Tiga Belas Koto dan Haji Piobang dari Tanah Datar. Kemunculan Tuanku Tambusai dengan pasukannya di bahagian utara terutama sekitar daerah Hulu Sungai Rokan menyebabkan Tuanku Imam Bonjol dapat bertahan dari serangan Belanda lebih lama kerana pasukan Tuanku Imam Bonjol posisinya di bahagian tengah. Taktik dan strategi perang diatur dua bahagian oleh Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai. Tuanku Rao melalui Padangsidempana dan Tuanku Tambusai melalui Padanglawas, Gunung Tua, Bilah Panai berhimpun di Sipiruk. Pada mulanya Belanda telah menguasai Bonjol pada bulan September 1832 akhirnya terpaksa keluar pada Januari 1833 akibat serangan Kaum Paderi yang diperanani oleh Tuanku Tambusai.
Dalam perang melawan penjajah Belanda itu di antara jasa besar Tuanku Tambusai, beliau dapat menyatupadukan tiga etnik iaitu Minangkabau/Rao, Melayu dan Mandailing. Bahawa mereka bersatu tekad dan semangat bumi pusaka bukan milik bangsa penjajah. Bumi ini adalah kepunyaan bangsa kita yang beragama Islam.
Membela agama Islam dan tanahair adalah wajib. Menang dalam peperangan bererti mencapai kemerdekaan. Jika mati dalam perjuangan adalah mati syahid. Menang bererti beruntung. Jika mati pun beruntung juga. Orang yang tidak mengenal bangsa, tanahair dan Islam agamanya, yang tiada perjuangan itulah yang sebenar-benar rugi pada hakikatnya.
Apabila kita menoleh zaman lampau etnik yang tersebut mendiami daerah yang sangat luas, yang pada masa ini terbahagi dalam tiga daerah iaitu; daerah Sumatera Barat majoriti penduduknya ialah Minangkabau, daerah Riau Daratan majoriti penduduknya ialah Melayu dan daerah Sumatera Utara majoriti penduduknya ialah Batak dan yang beragama Islam mempunyai nama tersendiri iaitu Mandailing.
Daripada rakaman ini kita dapat membayangkan bahawa Tuanku Tambusai mempunyai kehebatan atau kekuatan yang tersendiri sehingga beliau dapat menyatupadukan etnik dalam bumi yang demikian luas itu. Setelah banyak mengapai kemenangan dan keberhasilan perjuangan, Tuanku Tambusai menjadikan pusat perjuangan, pentadbiran dan pertahanan di Dalu-Dalu (sekarang dalam daerah Riau Daratan).
Bertahan
Sampai tahun 1838 Tuanku Tambusai masih tetap bertahan sehingga Belanda tidak dapat masuk ke Inderagiri Hulu (Riau Daratan). Tuanku Tambusai adalah seorang ulama dan pahlawan yang berpendirian keras tidak mahu berunding dengan pihak penjajah Belanda. Beliau faham benar bahawa berunding dengan pihak penjajah Belanda bererti menyerah diri atau terperangkap dengan umpan lazat yang disediakan pemburu.
Sudah banyak contoh yang beliau bandingkan seumpama Tuanku Imam Bonjol sendiri terkorban bukan sebagai syahid di medan peperangan tetapi adalah tertipu kelicikan pihak penjajah Belanda. Tuanku Tambusai berpendirian terus berjuang sekiranya tidak berhasil hijrah ke Negeri Sembilan beliau memilih jalan terakhir iaitu mati sebagi syahid lebih utama daripada berunding apatah lagi menyerah kepada pihak musuh.
Pendirian keras Tuanku Tambusai seperti tersebut itu ada orang yang tidak menyetujui dan ramai pula yang menyetujuinya. Jika kita teliti sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia secara keseluruhan pendirian Tuanku Tambusai itu ada benarnya. Kerana hampir semua pemimpin yang mahu berunding dengan penjajah Belanda adalah merugikan pemimpin pejuang. Yang untung adalah pihak Belanda sendiri.
Semua pemimpin yang menerima perundingan ditangkap akhirnya dibuang keluar dari negeri asalnya. Peristiwa Tuanku Tambusai dapat kita bandingkan dengan peristiwa dunia antarabangsa sekarang ini, ada negara yang tidak menerima perundingan dengan Amerika seperti Iran tentang isu nuklear. Ada negara menerima perundingan tetapi tidak mudah menerima tipu helah Amerika seperti Korea Utara. Iraq akhirnya menerima perundingan. Apa jadinya? Hanyalah merugikan Iraq sendiri menjadi negara yang dijajah oleh Amerika dan sekutu-sekutunya.
Pengorbanan tenaga, harta dan pemikiran Tuanku Tambusai adalah besar, kecuali jiwa dan raganya saja dapat berhijrah ke Negeri Sembilan. Peristiwa beliau hampir serupa dengan gurunya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dalam perang Patani melawan pencerobohan Siam bahawa beliau hijrah ke Pulau Duyung Kecil, Terengganu. Hijrah seseorang tokoh atau ulama bukan bererti lari tetapi bertujuan menyusun taktik dan strategi untuk mencapai kemenangan yang diredai Allah di dunia dan akhirat. Dengan tidak menafikan perjuangan Tuanku Tambusai beliau telah diberi gelaran, ‘Pahlawan Nasional Republik Indonesia’ dengan SK. No. 071/TK/Tahun 1995, Tanggal 7 Ogos 1995.
Untuk maklumat lanjut mengenai Ulama Nusantara, sila e-mel pertanyaan ke alamat: pengkaji_khazanah @yahoo.com atau hubungi talian 03-6189 7231.
Harimau Paderi dari Rokan
Dibaca: 7024 | Suara: 0 Favorit: 0 | Komentar: 0 ? 0.00% Social URL: tokoh.in/1180 ? Print Bio Kutip
Tuanku Tambusai | e-ti | rpr Tokoh Paderi ini sangat ditakuti oleh Belanda karena memporak-porandakan pasukan Belanda dalam rentang 15 tahun. Pasukan Belandapun menyebutnya harimau Paderi dari Rokan.
Tuanku Tambusai
Memimpin paderi, 1832 Silakan Login untuk melihat CV Lengkap
Tutup Curriculum Vitae (CV) Tuanku Tambusai
Sebagai seorang ulama besar ia telah menunaikan kewajibannya. Keberadaannya sebagai pejuang pembela tanah air yang gigih dan pantang menyerah selalu dihargai masyarakat sekitar, mereka pun tak segan membantu. Meskipun harus hidup dalam pengasingan, ia tak mau tunduk pada perintah Belanda.
Tuanku Tambusai lahir di Dalu-dalu, Kabupaten Kampar, Riau pada 5 Oktober 1784 dari pasangan Ibrahim dan Munah. Ayahnya, seorang pejabat tinggi agama di kerajaan Tambusai. Sebagai seorang pemuka agama Islam, ia mengajarkan pendidikan agama kepada anak-anaknya dengan penuh kedisiplinan.
Tuanku Tambusai yang awalnya dikenal dengan nama Muhammad Saleh ini juga diajari beladiri, termasuk ketangkasan menunggang kuda sejak usianya masih belia. Bukan hanya beladiri dan menunggang kuda, tata cara bernegara pun dipelajarinya dengan tekun.
Untuk lebih memdalami ilmu agamanya, Muhammad Saleh pergi menuntut ilmu ke Bonjol (sekarang Sumatera Barat) kemudian pindah lagi ke Rao. Di sana ia berguru pada beberapa ulama dan berkenalan dengan tokoh paderi, Tuanku Imam Bonjol.
Saat itu Minangkabau merupakan tempat terdekat dengan Tambusai yang berusaha memurnikan kembali ajaran agama di daerah itu. Untuk mencapai lokasi tersebut, Saleh harus menempuh 2 hari perjalanan dengan berjalan kaki.
Kemasyuran ulama besar seperti Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang, dan Tuanku Nan Renceh, juga terdengar hingga ke wilayah Tambusai. Namun tidak ada pertentangan antara kaum adat dengan kaum Paderi. Berkat ketekunan belajarnya, Muhammad Saleh menjadi seorang paderi bergelar fakih.
Kemudian ia mendapat tugas menyebarkan dakwah ke daerah yang paling rawan waktu itu, yaitu Toba (sekarang Sumatera Utara) yang sebagian besar penduduknya menganut kepercayaan pelbegu. Ketika berdakwah di daerah itu, ia difitnah ingin merombak adat nenek moyang orang Batak. Karena fitnah itu ia merasa nyawanya terancam.
Merasa Toba sudah tak aman baginya, ia pun memutuskan kembali ke Rao (sekarang Sumatera Barat). Di sana ia menyiarkan agama Islam bersama Tuanku Rao ke berbagai pelosok seperti Airbangis dan Padanglawas kemudian ia mendirikan pesantren di kampungnya, Dalu-dalu.
Gelar Tuanku pun disandangnya karena tingkat keilmuannya yang tinggi dalam bidang agama. Dengan gelar itu ia ditugasi sebagai Panglima Paderi di Rao. Tuanku Tambusai, selain seorang panglima, ia juga merupakan salah seorang dari empat orang paderi yang berangkat ke Mekah di tahun 1820-an untuk mempelajari perkembangan pemikiran Islam di Tanah Suci.
Di berbagai tempat yang sekarang termasuk dalam administratif Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara ia mengadakan perlawanan terhadap penjajah. Dalam Perang Paderi (1821-1830), Tuanku Tambusai membawa pasukan yang beroperasi di bagian utara Sumatera Barat. Kemudian mengawali penyerangan terhadap Inggris di Natal ( Sumatera Utara) pada tahun 1823.
Pada akhir tahun 1826, tentara Belanda tidak bisa dengan tenang masuk ke wilayah Natal karena dihadang oleh Tuanku Tambusai. Meskipun Natal sudah diserahkan Inggris ke tangan Belanda sesuai dengan Traktat London 1824.
Pada tahun 1830, Tuanku Tambusai bergabung dengan pasukan Rao setelah mengamankan wilayah Natal-Airbangis. Dengan cepat ia memimpin kekuatan di Dalu-dalu (Riau), Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, Mandailing, Pangkalpinang dan Natal. Tuanku Tambusai dan Rao kemudian mendirikan benteng yang terdiri dari tujuh lapis bambu terletak di Dalu-dalu. Namun pada September 1832, benteng itu jatuh ke tangan Belanda. Tuanku Tambusai memboyong pasukannya ke Tapanuli Selatan. Setelah Tuanku Rao gugur dalam pertempuran di Airbangis, praktis Tuanku Tambusailah yang memimpin pasukan Paderi di bagian utara Sumatera Barat.
Setelah Belanda mengangkat Tuanku Mudo (anak Tuanku Imam Bonjol) menjadi Regent Bogor, Tuanku Tumbasai sempat memimpin paderi pada tahun 1832. Dalam rentang waktu 15 tahun, tokoh paderi ini memporak-porandakan pasukan Belanda sehingga musuh berkali-kali harus meminta bantuan dari Padang dan Batavia. Pada tahun 1834, ia mulai mendirikan serangkaian benteng di Dalu-dalu.
Sebagai tokoh paderi, penampilannya tak selalu dengan baju putih dan tidak pula memelihara janggut sebagaimana paderi-paderi lainnya. Ia merupakan ancaman yang cukup serius bagi Belanda. Peranannya dalam mengurangi tekanan Belanda terhadap pertahanan utama Paderi di Bonjol sangat besar.
Pada tahun 1835, pasukannya mengepung kedudukan Belanda di Rao dan Lubuk Sikaping sehingga pasukan Belanda antara satu tempat dan tempat lain terputus. Adakalanya ia menyerang pos-pos militer Belanda di Tapanuli Selatan sehingga kekuatan Belanda yang mengepung Bonjol menjadi terpecah. Namun, pada Agustus 1837, Bonjol jatuh ke tangan Belanda.
Ia juga terkenal dengan kecerdikannya, hal itu terbukti dengan dihancurkannya benteng Belanda Fort Amerongen. Meskipun tak berlangsung lama, Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda dapat direbut kembali. Karena keberaniannya itu, ia dijuluki sebagai de padrische van Rokan yang berarti harimau Paderi dari Rokan oleh Belanda.
Dalam perjuangannya ia tak hanya berhadapan dengan Belanda, namun juga saudara sebangsanya yang lebih memilih untuk berpihak kepada Belanda seperti Raja Gedombang (Regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo (bekas tentara Sentot Alibasyah).
Tuanku Tambusai berusaha membujuk serdadu Belanda asal Jawa untuk membantu perjuangan karena dalam pertempuran di Lubukhari tahun 1833, Belanda menggunakan para wanita setempat sebagai tameng. Solidaritas agama pun ia manfaatkan guna mendukung perjuangannya. Sayangnya Belanda mengetahui upaya tersebut. Akan tetapi sebanyak 14 orang serdadu Belanda asal Jawa sempat bergabung dengan Tuanku Tambusai.
Dalam perang paderi, Tuanku Tambusai merupakan sosok pemimpin terkemuka. Kehadirannya selalu diterima oleh penduduk di daerah yang dikunjunginya. Hal itu tercermin dari sejumlah gelar yang disandangnya, seperti Ompu Bangun, Ompu Cangangna, Ompu Sidoguran dan Ompu Baleo. Ketika pemimpin Fort Amerongen menawarkan perdamaian padanya, ajakan itu ditolaknya mentah-mentah. Hal tersebut menunjukkan keteguhannya dalam menjaga prinsip. Hal serupa juga terjadi pada tahun 1832, saat itu Letkol Elout mengajaknya berdamai di Padang Matinggo, Rao. Dengan tegas ia berpesan pada Elout agar tidak mencampuri urusan dalam negeri orang lain. Mendengar hal itu, Elout membalasnya dengan mengatakan bahwa di mana ada Belanda di sana ia membuat kuburan. Dengan lantang Tuanku Tambusai menjawab "Jika begitu sediakan bedil!"
Pada awal tahun 1838, pasukan Belanda menyerang Dalu-dalu dari dua arah, yakni Pasir Pengarayan dan dari Tapanuli Selatan. Serangan itu gagal karena Tuanku Tambusai sudah mendirikan benteng berlapis-lapis. Serangan berikutnya dilancarkan Belanda pada Mei 1838. Beberapa benteng dapat mereka rebut, namun Belanda memerlukan waktu beberapa bulan lagi sebelum perlawanan Tuanku Tambusai dapat mereka akhiri. Pada 28 Desember 1838, benteng pertahanan terakhir di Dalu-dalu jatuh ke tangan Belanda. Namun ia berhasil meloloskan diri dari kepungan Belanda dan para sekutu-sekutunya lewat pintu rahasia.
Di sungai Rokan ditemukan sampan kecil milik Tuanku Tambusai bersamaan dengan barang-barang miliknya seperti cincin stempel, Al-Quran, serta beberapa buah buku yang dibawanya dari Mekkah.
Di usianya yang telah cukup renta, 98 tahun, ia kemudian mengungsi ke Seremban, Malaysia. Ia meninggal dunia pada 12 November 1882 di Negeri Sembilan, Malaysia.
Atas jasa-jasanya pada negara, Tuanku Tambusai diberi gelar pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 071/TK/Tahun 1995, tanggal 7 Agustus 1995. e-ti
KETOKOHAN TUANKU RAO SEBAGAI SEORANG ULAMA DAN PEJUANG MELAYU[1]
Tuanku Rao adalah seorang ulama yang telah berjaya mengIslamkan keseluruhan orang-orang Rao dan kawasan sekitarnya. Beliau juga adalah seorang pejuang kemerdekaan yang syahid ditangan penjajah. Ketokohan Tuanku Rao telah terpahat di hati dan menjadi kebanggaan setiap orang Rao khasnya dan Melayu amnya. Atas jasa beliau Orang-orang Rao, Tapanuli dan kawasan sekitarnya sampai sekarang semuanya beragama Islam dan masih mengaji dengan menggunakan bahasa Rao. Kematiannya telah menyematkan perasaan anti penjajah di hati orang-orang Rao. Baik yang ada di Rao mahupun yang telah berhijrah ke Malaysia ketika itu. Kajian ini akan coba mengungkap sejarah ketokohan Tuanku Rao sebagai seorang Ulama dan seorang Pejuang dari bangsa Melayu.
Pendahuluan
Kajian ini terinspirasi semenjak keterlibatan penulis dalam team pengkaji Biografi dan Pemikiran Politik Ulama Melayu Silam di Asia Tenggara. Penulis telah melakukan kajian lapangan diberbagai tempat Asia Tenggara untuk melihat berbagai peninggalan dan melakukan temu bual di berbagai tempat. Kajian itu memakan masa dua tahun dan dibiayai oleh kerajaan Malaysia atas nama Universiti Malaya tempat penulis melanjutkan PhD saat ini.
Ramai tokoh intelektual muslim (ulama) yang telah dicatatkan dalam berbagai media, dan kurang sekali bahan bacaan yang menulis tentang Tuanku Rao. Dua penulisan tentang Tuanku Rao yang ada, ditulis oleh orang Batak dan Tapanuli yang terlihat tidak memahami sama sekali adat, budaya, sosial, ekonomi dan bahasa orang Rao. Sehingga berlakulah pengalihan isu seperti nama kampong Koto Godang di Rao ditukar menjadi Huta Godang di Batak, nama Fakih gelaran Tuanku Rao (orang yang ahli dibidang agama terutama fikh) ditukar menjadi Pokki menurut loghat Batak dan sebagainya. Kajian ini lahir juga atas dorongan beberapa orang rakan penulis selepas penulis menjadi pembentang dalam seminar Melayu Rao Malaysia di Universiti Sultan Idris Tanjung Malim pada 25 Julai 2009 lalu.
Rao Sepintas Lalu
Rao yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah daerah rawa-rawa, dalam lingkaran bukit barisan meliputi berbagai-bagai daerah yang luas seperti Panti, Padang Gelugor, Langsat Kadap, Lubuk Layang, Kubu Sutan, Sungai Ronyah, Selayang, Muara Sipongi (disebut dengan Rao versi lama) yang terletak ditengah pulau Sumatera. Di sebelah Utara, Rao bersempadan dengan Sumatera Utara berbangsa Tapanuli, di sebelah Timur bersempadan dengan Riau Daratan berbangsa Melayu Riau, di Selatan, bersempadan bangsa Minangkabau, manakala di sebelah Barat, terbuka dengan Selat Mentawai yang secara geografi membentuk permukaan bumi di daratan pulau Sumatera.
Yang dimaksud dengan orang Melayu Rao dalam tulisan ini adalah; mereka yang berasal dari keturunan Rao, masih menggunakan bahasa Rao, dan masih ada mengamalkan adat resam dan budaya Rao. Budaya Rao yang paling terkenal ialah bojojak, botatah atau adat pantang tanah[2]. Budak-budak Rao tidak boleh menyentuh tanah sebelum di jalankan upacara bojojak ini.
Bahasa dan budaya Rao berbeda dengan bahasa dan budaya Tapanuli, Minangkabau dan Riau daratan. Melayu Rao adalah sebuah tamadun yang tua, ini dibuktikan dengan terdapatnya berbagai bukti arkeologis barang purbakala yang berumur ribuan tahun di Rao. Seperti candi Tanjung Medan di Petok Panti, Candi Pancahan, Arca Dwarapala Padang Nunang, Prasasti Lubuk Layang dan Candi Bukit Rao yang ditemukan oleh Amran Datuk Jorajo
Cerita tentang Rao banyak terdapat dalam sejarah yang ditulis oleh orang Belanda. Ini kerana di Rao terdapat sebuah benteng Amorogen yang menyaksikan pertempuran sengit penjajah Belanda melawan penduduk pribumi yang dipimpin oleh Tuanku Rao. Rao dizaman silam adalah sebuah kota yang cukup besar, pusat perekonomian dengan terdapatnya tambang mas terbesar di Sumatera ketika itu. Di antaranya ialah yang ditulis oleh Letnan 1 Infanteri J.C. Boelhouwer yang diterbitkan kembali dalam bahasa Indonesia oleh Pemerintah Daerah Pasaman. Dalam buku tersebut penduduk pribumi Sumatera mereka panggil dengan istilah Melayu.
Semenjak kedatangan Belanda ke Rao yang berjaya mengalahkan pejuang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai sampai sekarang Rao telah didatangi oleh orang Minangkabau. Tapanuli dan Jawa. Majoriti komuniti masyarakat suku kaum Rao terdapat di luar seperti Medan, Malaysia, Palembang dan sebagainya. Sementara di Rao sendiri telah didatangi oleh orang lain bukan suku kaum Rao untuk mengisi kekosongan yang terdapat di Rao.
Masyarakat suku kaum Melayu Rao (Rawa) telah berhijrah ke Malaya mulai abad ke lima lagi. Perkampungan Rao banyak terdapat di Perak, Negeri Sembilan, Pahang, Selangor dan Kelantan. Nama-nama kampong mereka dibawa dari nama kampong yang terdapat di Rao sendiri. Dalam kehidupan keseharian mereka, suku kaum ini masih mempertahankan bahasa, adat istiadat, budaya dan hubungan kekerabatan dengan kampong asal nenek moyang mereka di Rao.
Faktor penghijrahan besar-besaran orang Rao, adalah disebabkan Rao ditakluk oleh Belanda pada tahun 1833. Faktor penghijrahan lainya adalah disebabkan meletusnya perang saudara antara Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan tentera pusat di Sumatera Barat pada 15 Februari 1958, dan Rao adalah kubu terakhir PRRI ketika itu. Pemberontakan parti komunis Indonesia pada tahun 1966 juga diperkirakan mempengaruhi penghijrahan.
Sejarah Tuanku Rao Yang Kabur
Nama dan tanggal lahir serta asal usul Tuanku Rao banyak menimbulkan kontraversi. Terdapat dua buku yang berjudul tentang Tuanku Rao yang ditulis oleh bukan orang Rao. Satu buku ditulis oleh orang Batak Insinyur (engineering) Mangaradja Onggang Parlindungan (MOP) yang berjudul “Pongkinagolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali Di Tanah Batak” dan satu lagi ditulis oleh orang Tapanuli Basyiral Hamidy Harahap yang berjudul “Greget Tuanku Rao”.
Mengutip kata Profesor Dr Mustika Zed seorang pakar sejarah Indonesia mengatakan bahawa kedua buku tersebut hanya membahaskan Tuanku Rao dalam sub bab buku mereka. Pembahasan mereka lebih banyak mengarah kepada yang lain, bukan tentang Tuanku Rao. Menurut Hamka, buku itu sepertinya ingin mengangkat suku kaum tertentu dan bermaksud menjatuhkan suku kaum dan agama lain. Objektifiti buku juga dipertanyakan disaat kedua penulis sepertinya hanya bermaksud menaikkan nama dan imeg kaumnya, bukan membahas tentang Tuanku Rao. Buku tersebut sebenarnya tidak layak diberi judul Tuanku Rao, kerana pembahasan yang terlalu sedikit dan tidak mewakili Tajuk. Buku ini juga ditulis oleh mereka yang tidak tahu sosial, ekonomi, budaya dan politik orang Rao.
Buku MOP ini telah diseminarkan di Padang pada 23-26 Julai 1969 dengan menghadirkan MOP sendiri dan banyak pakar sejarah. Mengutip kata Hamka bahawa waktu seminar itu MOP tidak berkutik dan tidak mampu mempertahankan kebenaran apa yang dia tuliskan. Berbagai pertanyaan dan kritikan tidak dapat ditangkis (dijawab) MOP, ketika itu.
Profesor Dr Hamka sebagai seorang ulama dan juga ahli dibidang falsafah, sastera, sejarah, sosiologi dan politik Islam serta Barat secara khusus mengkritik buku tersebut dengan menulis sebuah buku berjudul “Tuanku Rao Antara Fakta dan Khayal” setebal 363 halaman.
Dalam buku tersebut Hamka menuliskan bahawa 80% karangan MOP itu adalah tidak benar dan kalau boleh dikatakan dusta. Antara kalimat Hamka dalam menanggapi buku itu ialah “bodoh berlagak pintar” (h.23), Dongeng (h.37), sangat diragukan bahkan tertolak sama sekali (h. 50), tak faham bahasa Arab h. (59 & 75), Hayalan (h. 63) kahayalan sam suparlin, kebodohan penulisnya (h. 76), banyak dongeng seperti cerita 1001 malam (h. 100), cerita baru dan lain dari yang ditulis oleh para pakar sejarah lainnya dan metodenya yang salah (h.106), tukang kaba (tukang dongeng dizaman melayu kuno) (h.108), dan diakhiri dengan kata-kata HOTA GODANG (dusta besar dalam bahasa minang) (h.268).
Menurut penulis kata-kata itu tidak akan keluar dari seorang cendekiawan intelektual muslim dan tokoh besar umat Islam seperti Hamka kalau tidak karena kesalahan yang dilakukan oleh MOP itu teramat besar dan fatal. Mungkin sahaja kerasnya kalimat Hamka itu didasari oleh ayat “asshidda`u alal al kuffar ruhama`u bainahum”
Buku MOP paling itu banyak menimbulkan kontraversi dan perdebatan diberbagai seminar mahupun media lainnya. Ini karena berisi data-datanya fiktif dan tidak betul, kaedah keilmuannya salah dan hasil penulisannya juga salah dan bertentangan dengan yang lainnya. Kebohongan itu terlihat disaat kita mempertanyakan bagaimana dan darimana dia mendapatkan data tersebut disaat dia tidak faham bahasa Arab, tidak melakukan kajian lapangan dan sedikit sekali memahami hal ehwal Islam. MOP juga bukan seorang ahli sejarah dan penulis yang baik, kerana itu adalah satu-satunya buku beliau. Dimasa itu juga jarang sekali ditemukan buku Arab yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Buku tersebut terkesan terdapat unsur fitnah dan adu domba serta disinyalir dibuat dengan tujuan-tujuan tertentu oleh agama lain. Dikatakan bahawa saat ini buku MOP tersebut menjadi bahan bacaan wajib bagi para pendeta (rabi kristian) di Sumatera Utara kerana ianya banyak menceritakan fitnah tentang kelemahan dan kezaliman dakwah Islam.
Ada beberapa sebab logik yang menyebabkan berlakunya berbagai kekeliruan dan kekaburan tentang sejarah Tuanku Rao, iaitu: 1. Kerana kemuliaan, kebesaran dan jasa-jasa yang telah ditaburkan oleh Tuanku Rao demi kepentingan agama Islam dan bangsa yang berjuang melawan penjajah Belanda. Orang-orang yang berjasa seperti Tuanku Rao adalah bukan pahlawan milik suku Rao, Minang, Mandailing, Aceh dan Melayu Riau saja tetapi adalah pahlawan milik seluruh etnik bangsa Melayu. Kerana Tuanku Rao adalah seorang Tokoh besar yang menjadi idola, kebanggaan dan ramai peminat ketika itu. Dan juga kerana setiap orang dan suku kaum mengharapkan lahirnya manusia seperti dia.
2. Lahirnya berbagai andaian yang mengatakan bahawa beliau adalah orang Batak, Tapanuli, Aceh ataupun Riau daratan dan sebagainya adalah hal yang biasa. Ini kerana setiap tokoh biasa berada dan berjuang serta berdakwah dalam waktu yang sangat lama di suatu tempat, mengingat susahnya transportasi ketika itu. Tuanku Tambusai umpamanya diberi marga harahap oleh orang Tapanuli kerana lamanya beliau berjuang dan berdakwah disana sehingga masyarakat setempat sudah sehati dengannya.
3. Sejarah Tuanku Rao tidak dicatat dalam media oleh orang Rao. Akan tetapi ia menjadi legenda dan memori dikalangan masyarakat Rao. Legenda ini dapat kita telusuri pada masyarakat Rao yang sudah tua. Ini terutama dalam masyarakat suluk atau tharikat yang ada saat ini. Ada juga yang menyimpan sejarah Rao sebagai rahasia, agar tidak menjadi fitnah ke anak cucu kerana hebatnya perang saudara yang disebabkan adu domba Belanda di Rao dahulu.
4. Dalam komuniti masyarakat Rao, nama sebenar seseorang agak susah dikenali, kerana setiap orang biasanya memiliki beberapa nama. Orang biasa dipanggil dengan panggilan biasa (laghob) dan gelaran sahaja. Disaat orang pulang dari menunaikan haji di makkah, biasa nama mereka akan bertukar kepada nama Islami atau sekurang-kurangnya ditambah Haji Muhammad dipangkal namanya.
5. Budaya tulis menulis waktu itu yang belum seperti sekarang. Faktor kurangnya budaya tulis menulis saat itu dapat dimengerti mengingat keadaan Rao yang saat itu tahun 1800-an masih berbentuk sebuah perkampungan melayu yang kuno. Kesibukan tokoh dalam berdakwah dan ditambah lagi melawan agenda penjajah membuat tenaga mereka terkuras habis dan tidak sempat menulis lagi.
6. Meninggal beberapa tahun setelah Rao ditaklukkan. Mengingat ahli sejarah Indonesia masih berkiblat dan menjadikan tulisan dan cacatan orang Belanda yang berada di Den Hag sebagai sumber primer mereka, maka menurut pandangan mereka mengatakan bahawa kurang jelasnya sejarah Tuanku Rao kerana kematian Tuanku Rao berlaku beberapa tahun selepas Rao ditaklukkan Belanda. Ianya dikatakan penyebab kurang menarik minat para penulis Belanda ketika itu. Beberapa daerah Indonesia saat ini, ada yang dijajah selama 350 tahun, akan tetapi beberapa daerah lainnya ada yang beberapa tahun sahaja dan ada juga yang tidak pernah dijajah Belanda sama sekali. Rao sendiri ditaklukkan Belanda selama lebih kurang 126 tahun iaitu bermula tahun 1883.
7. Tuanku Rao menurut beberapa cacatan sejarah Berjaya Membunuh Sisingamangaraja X dengan berbagai mitos cara pembunuhan dan kematiannya. Sisingamangaraja adalah raja dan tokoh tanah Batak yang ketika itu diagungkan seperti Dewa. Dikabarkan bahawa Sisingangaraja kebal berbagai macam senjata tajam dan dia tidak akan mati selagi badannya menyentuh bumi. Akhirnya diwaktu badan Sisingamangaraja melambung ke udara Tuanku Rao mengambil kesempatan itu untuk menebas kepalanya dan disambut agar tidak jatuh ke bumi atau agar ia tidak hidup kembali. Sebagai pemimpin yang didewakan dengan symbol lidah berbulu, tentu sahaja orang Batak sakit hati. Dan untuk membalas sakit hati dan memuaskan hati orang Batak inilah orang mereka membuat cerita bahawa yang membunuh Raja atau Dewa mereka itu bukanlah orang lain, tetapi kemenakan dari Sisingamangaraja sendiri. Maka dengan ini terobat jualah hati generasi orang Batak. Nama Batak itu sendiri menurut Tokoh Rao yang penulis wawancarai terdiri dari kata BOATAK. Ini berlaku diwaktu Tuanku Rao mengirim intelligent ke Tanah Batak sebelum berlakunya penyerangan. Kata intelligent itu untuk apa kita takut, padahal mereka itu tidak ada apa-apanya rumah mereka pun boatak (bersusun). Dari situlah timbulnya nama Batak menurut versi orang Rao yang juga saudara kandung seniman dan juga sejarawan tersohor Indonesia Asrul Sani.
8. Dalam sejarah yang dicatatkan oleh M. Rajab dalam bukunya perang Paderi mengatakan bahawa Tuanku Rao yang juga menantu yang dipertua Rao (Raja Rao) mengambil alih kekuasaan dari mertuanya itu dengan cara berunding. Ini kerana Tuanku Rao melihat bahawa yang dipertua Rao tidak mampu lagi memimpin Rao kerana faktor usianya yang sudah sangat tua. Ini juga kerana faktor ketidak mampuan yang dipertua Rao untuk melawan penjajah dan selalu tunduk mengikut telunjuk dan kehendak penjajah ketika itu. Pertikaian kaum adat dengan kaum agama sebenarnya berlaku di seluruh Sumatera Barat. Ini dikatakan yang menyebabkan terbunuh dan larinya keluarga raja Pagaruyung ke negeri Sembilan kerana tidak mau menghilangkan adat budaya Minangkabau yang bertentangan dengan ajaran Islam. Kaum paderi yang dipimpin oleh ulama bermaksud ingin membersihkan orang Sumatera dari ajaran tahayul, animisma, bid`ah, khurafat dan adat resam yang tidak sesuai serta bertentangan dengan ajaran Islam. Sementara pihak kaum adat mahu adat itu terus dipertahankan. Konflik kaum adat dengan kaum agama ini yang dikatakan membuat orang takut menuliskan sejarah Tuanku Rao. Dikatakan ketika itu, siapa sahaja yang menulis atau menganggungkan setelah kematian Tuanku Rao akan dibunuh oleh petinggi adat ketika itu. Ada kemungkinan karya tulis Tuanku Rao dihilangkan oleh Belanda atau pun kaum adat yang anti dengannya Beberapa tokoh masyarakat Rao yang penulis temubual juga mendapati indikasi pembohongan dan khayalan MOP dalam bukunya tentang Tuanku Rao. Seperti kalimat MOP Huta Godang sebenarnya Koto Godang kerana di Rao terdapat kampong lama Koto Godang yang sudah ditinggalkan. Pokki yang dimaksudkan MOP adalah hasil penipuan sejarah. Ini kerana di Rao sampai sekarang terdapat istilah Pokiah dalam bahasa Rao yang bermaksud Fakih atau orang yang ahli dalam bidang agama Islam. Tuanku Rao adalah orang Rao asli yang berdasarkan pada bukti sejarah tentang Bagindo Suman yang merupakan kemenakan kandung beliau sendiri. Wawancara yang penulis lakukan terhadap cicit Bagindo Usman mendapati bahwa mereka adalah orang Rao asli, bukan orang Tapanuli. Beberapa peninggalan Bagindo Suman masih terdapat di Rao Padang Metinggi hingga saat ini. Barang peninggalan itu berupa kuburan yang berukuran besar melebihi ukuran manusia sekarang ini, jubah, besi payung, tongkat dan pedang beliau. Cicit Bagindo Suman sampai saat (2009) ini masih hidup. Hasil kajian yang penulis lakukan, menemukan bahawa sampai saat ini daerah-daerah disekitar Rao umat Islamnya masih mengaji menggunakan bahasa Rao. Hal itu dapat dilihat dalam masyarakat Tapanuli, Batak, minangkabau, Riau daratan, dan pesisiran pantai. Pengaruh ini tentu sahaja membawa kita kepada kesimpulan bahawa Tuanku Rao yang berasal dari Rao dan anak jati Rao, kerana menggunakan bahasa dan adat resam orang Rao. Tuanku Rao, Bagindo Usman serta keturunannya sampai sekarang tidak memiliki marga sebagaimana identity masyarakat Tapanuli dan Batak. Marga atau suku kaum adalah sesuatu yang penting dalam masyarakat mereka. Di ujung nama mereka biasanya akan dicantumkan Siregar, Lubis, Nasution, Simanjuntak dan sebagainya dan ini tidak terdapat dalam keluarga Tuanku Rao, Bagindo Usman mahupun anak cicitnya hingga saat ini. Mengutip Prof Taufik Abdullah mengatakan bahawa objektif MOP dalam menulis buku tersebut sangat dipertanyakan. Dalam bukunya beliau mengangkat Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai sebagai tokoh yang berani berasal dari tanah batak, dan merendahkan Tuanku Imam Bonjol sebagai seorang yang pengecut. Padahal sejarah jelas mengenal bahawa kedua tokoh tersebut tidak memiliki marga sebagaimana semestinya orang Tapanuli dan orang Batak yang wajib memiliki marga. Dakwaan MOP yang mengatakan bahawa Tuanku Rao adalah orang Batak atau Basyiral Hamidy yang mendakwa beliau orang Tapanuli juga dibantah dengan berbagai bukti saintifik lainnya. Sepintas pernyataan mereka ini Nampak benar kerana ramainya orang Tapanuli yang berada di Rao saat ini. Akan tetapi mereka lupa, kerana pada hakikatnya orang Tapanuli adalah pendatang dan yang di datangkan ke Rao selepas kemerdekaan. Sejarah mencatatkan bahawa berlakunya penghijrahan orang Tapanuli ke Rao berlaku selepas kemerdekaan. Ini kerana pemerintah Indonesia melihat tidak dimanfaatkannya tanah dan perkebunan getah, sawah padi dan sebagainya yang ditinggalkan oleh Belanda. Orang Rao sendiri ketika itu ramai yang berhijrah ke luar seperti Malaysia. Sampai sekarang sensitifiti orang Rao terhadap Batak masih berlaku. Orang Batak dalam persepsi masyarakat Rao terkesan kurang baik. Ini juga berlaku disebagian besar wilayah Indonesia, walaupun sebenarnya saat ini sudah ramai orang Batak yang masuk Islam dan berpendidikan tinggi. Mereka diidentikkan sebagai tidak Islam, makan babi, makan orang, dan berbagai penilaian negative lainnya. Bagaimana mungkin mereka dapat menerima orang Batak sebagai pemimpin dan menantu mereka padahal komuniti ini dipandang negative dan rendah oleh masyarakat Rao. Sampai saat ini tidak ada masyarakat Rao yang mau menerima masyarakat Batak dalam komuniti mereka apalagi mengangkatnya sebagai menantu sangat jauh sekali. Biografi Tuanku Rao Tuanku Rao lahir di Padang Mentinggi sekitar 2 km dari pekan Rao. Ayahnya seorang pedagang kerbau bernama Ibrahim berasal dari Sei Ronyah, Rao. Ibunya bernama Siti Aminah berasal dari Air Bangis. Beberapa kajian ilmiyah yang dilakukan oleh anak-anak Rao mendapati bahawa nama sebenar tuanku diwaktu kecil adalah Syamsu Taberi. Tuanku Rao memiliki 2 orang saudara perempuan dan seorang saudara lelaki. Kakak perempuan Tuanku Rao memiliki seorang anak yang bernama Bagindo Suman yang sekaligus sebagai panglima perang beliau. Ibunya memiliki seorang saudara lelaki bernama Nahkoda Langkok seorang saudagar kaya yang di dalam sejarah disebut menghianati anak kemenakannya sendiri iaitu Tuanku Rao. Nama atau gelaran Tuanku Rao menurut persepsi Naskah Tuanku Imam Bonjol ialah Fakih Saleh, menurut penulis Fakih Saleh bukanlah nama, tetapi gelaran kesarjanaan kepada seseorang yang ahli dibidang agama Islam ketika itu. Fakih (Pokiah) berarti ahli figh dan Saleh orang yang soleh, atau bisa juga disebut Ulama menurut pendapat penulis. Wan Mohd. Shagir mensinyalir nama sebenar ‘Tuanku Rao’ kemungkinan ialah Syeikh Muhammad Murid Rawa. Kisah anaknya, Syeikh Muhammad Shalih Rawa dijumpai sebuah karyanya judul Fath al-Mubin. Ada kemungkinan nama ini beliau perolehi setelah kembali dari menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di Makah. Gelar Tuanku adalah gelaran tertinggi dalam komuniti masyarakat Rao dan sekitarnya. Kerana ia menjadi pemimpin dan anutan masyarakat, baik dalam masalah dunia mahupun masalah agama mereka. Tuanku tidak tunduk kepada Raja, kerana raja hanyalah mengepalai bidang adat (symbol) sahaja. Tuanku duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan raja. Perbedaannya, gelaran Raja diwarisi turun temurun, sementara Tuanku adalah gelaran yang diperoleh dari pengakuan dan pengangkatan masyarakat yang terpilih. Penulis mengibaratkan Tuanku seperti gelaran Khalifah yang mendapat pengakuan dari masyarakat luas, yang dipilih dengan jalan syura`. Disamping itu Tuanku terkenal dengan berbagai macam mitos keramat, seperti Wali Songo di Pulau Jawa. Perjuangan Tuanku Rao bersama kaum Paderi lainnya yang sangat heroik itu, sangat jelas ketika merebut Benteng Amerongen (sampai sekarang sisa benteng tersebut masih terlihat dengan jelas). Benteng Amerongen didirikan tidak terlepas dari penunjukkan akan kekuatan dan kekuasaan, serta basis pertahanan Belanda untuk membendung perlawanan kaum Paderi di daerah Rao. Diceritakan, ketika tentara Belanda yang menduduki Bonjol, Lubuk Sikaping, Lundar, Tambangan dan daerah lainnya yang sebelumnya diduduki oleh kaum Paderi. Namun benteng pertahanan Belanda tersebut, masih bisa bertahan dan inilah satu satunya basis pertahanan Belanda yang mereka miliki. Namun, dengan sikap heroik yang kuat akhirnya bulan November 1833 benteng tersebut dapat direbut oleh kaum Paderi dan berhasil memukul mundur pasukan Belanda dan pergi ke Natal. Tuanku Rao dan kawan-kawannya menghadapi berbagai macam penghianatan dari orang Rao sendiri, dari Nahkoda Langkap, dari orang Batak, dari Raja Gadombang dari Tapanuli, dari Tuanku Natal, dari Temenggung Keroredjo pasukan Sentot Alibasa dan sebagainya. Sentot Alibasa akhirnya berpaling membela Tuanku Rao cs setelah dia sedar bahawa orang yang dia perangi itu adalah seagama dan seide dengannya Pendidikan awal Tuanku Rao peroleh di Rao sendiri sebagai pusatnya ilmu pengetahuan ketika itu. Selanjutnya Tuanku Rao melanjutkan pendidikannya ke Aceh dan menurut Hamka ada kemungkinan beliau memperdalam ilmu ke-Islamannya ke Makah ketika itu. Pengaruh Aceh di Rao masih ada sampai sekarang, seperti Munesah sebutan orang Rao bagi masjid atau surau mereka. Sejarah mencatatkan bahawa penyebab kematian Tuanku Rao adalah kerana penghianatan yang dilakukan oleh pamannya sendiri yang bernama Nahkoda Langkok. Keberadaan kaum Paderi yang anti penjajah bagi seorang saudagar kaya yang bernama Nahkoda langkok sangat mengganggu bisnesnya dengan Belanda. Atas bujukan Belanda, Nahkoda Langkok ternyata tega mengkhianati anak kemenakannya itu. Hamka menyatakan bahawa kematian Tuanku Rao sebagai syahid kerana melawan penjajah Belanda yang ditembak peluru penjajah secara bertubi-tubi di Air Bangis, tepatnya 29 Januari 1833 Allahu yarham menemui ajalnya. Diakhir hayatnya beliau masih memegang sebilah keris sebagai simbol perlawanan dan pantang menyerah. Innalillah wa inna ilaihi rojiun. Legenda Tuanku Rao Beberapa legenda mungkin juga mitos Tuanku Rao masih dapat kita ikuti saat ini dalam komuniti masyarakat tua, terutamanya bagi mereka yang mengikuti suluk atau pengajian tarikat. Di antara legenda itu ialah; 1. Ka`bah terbakar. Diwaktu Tuanku Rao dicukur rambutnya di Rao dia menjerit dengan mengatakan ka`bah terbakar. Seorang yang kembali dari menunaikan haji mengatakan bahawa ada seorang yang kepalanya bercukur sebelah, membawa air memadamkan api di Makah. 2. Bagindo Usman jadi peluru. Bagindo Usman adalah kemenakan kandung Tuanku Rao. Dalam masyarakat Rao yang dipengaruhi oleh budaya Minang menganggap kemenakan sangat dekat dengan mamak nya. Dalam mitos yang diwarisi turun temurun bahwa Bagindo Usman dijadikan peluru yang dimasukan kedalam meriam. Bagindo Usman terbang sambil memegang pedang dan menebasi kepala askar Belanda ketika itu. 3. Kebal. Dalam mitos mashur diketahui bahawa kematian Tuanku Rao adalah disebabkan penghianatan orang Rao sendiri yang memberi tahu dimana kelemahan dan bagaimana cara membunuh Tuanku Rao. Sementara Bagindo Usman dibunuh setelah penghianat memberi tahu bahawa Bagindo Usman hanya boleh dibunuh dengan benang tujuh cento (warna) 4. Gosong. Gosong Tuanku Rao menurut penulis bukanlah mitos, tetapi reality. Iaitu dengan ditemukannya gosong tersebut oleh beberapa individu. Bukti Yang Jelas Walaupun data-data tarikh dan angka-angka tentang Tuanku Rao banyak diperdebatkan oleh ahli sejarah, namun bukti keberadaan Tuanku sangat jelas terlihat hingga saat ini. Kesan keberadaan dan kewujudan Tuanku Rao dapat dilihat dari dua peran besar yang beliau mainkan iaitu; Fase Pertama: Perjuangan dakwah Islamiyah kepada masyarakat Rao dan daerah tetangga mulai 1800 sampai 1823 dan Fase Kedua: Perjuangan melawan Penjajahan Belanda mulai 1822 hingga 1833. Sebagai Ulama Rao dikabarkan pernah menjadi pusat penyebaran ilmu ke Islaman yang melahirkan tokoh besar Indonesia seperti Syeikh Ahmad Khatib al-minangkabawi, Agus Salim dan sebagainya. Penulis melihat bahwa daerah-daerah yang selama ini dikenal sebagai penghasil para ulama akan dihancurkan secara sistematik. Lihat sahaja Aceh dengan perang saudara yang berpanjangan, Barus yang selama ini penghasil ulama sekarang mayoritas masyarakatnya tidak beragama Islam lagi, Fathani dengan kekacauan dan perang saudara, Minangkabau dengan kerusakan moral dan hipotesis ini juga mungkin berlaku di Rao. Tuanku Rao adalah seorang Ulama dan reformis Islam yang ingin melihat Islam secara kaffah. Bersama rakan seperjuangnnya mereka berusaha menghilangkan ajaran animism, khurafat, tahayul dan bida`ah yang menjadi peninggalan budaya agama budha dan hindu sebelumnya. Sampai saat ini belum ditemukan bukti terdapatnya Tulisan atau karya Tuanku Rao. Sejauh penelitian yang penulis lakukan hanya menemukan sebuah naskah al-Qur`an tulisan tangan asli yang ditulis oleh Isteri Tuanku Imam Bonjol. Namun sejarah mengenal bahawa Tuanku Rao dikenal dengan seorang individu yang tidak pernah mengenal kompromi terhadap penjajah. Sikap ini membuat penjajah anti dan memusuhinya. Tidak tertutup kemungkinan berlakunya pembakaran atau pemusnahan terhadap karya Tulis Tuanku Rao ketika itu. Keulamaan Tuanku Rao pernah dicatatkan oleh Muhammad Shagir dalam sebuah artikel beliau. Bukti lain bahawa beliau adalah seorang ulama adalah pengakuan sejarah bahawa beliau memiliki peranan yang besar dalam mengislamkan masyarakat Rao dan sekitarnya. Ini termasuk masyarakat di Tapanuli, Batak, Bagian dari minang kabau, Riau daratan dan pesisiran pantai. Terdapatnya komuniti masyarakat Rao di tempat yang disebutkan sebelum ini juga menjadi bukti kesan pengaruh Tuanku Rao di tempat tersebut. Sejarah juga ada mencatatkan bahawa Tuanku Rao adalah kakak seperguruan (kemungkinan juga sebagai guru berdasarkan peringkat umur Tuanku Rao yang lebih tua) Tuanku Tambusai semasa belajar agama di Rao yang sama-sama mendapat gelaran Fakih. Beliau juga yang menasehati agar Tuanku Tambusai melanjutkan pelajarannya ke Makah setelah menamatkan pelajaran dengan Tuanku Rao dan Tuanku Imam Bonjol. Dakwah Islamiyah dan perjuangan Tuanku Rao merentasi suku bangsa di Sumatera seperti Rao, Minangkabau, Tapanuli, Batak dan Melayu Riau Sebagai pejuang Walaupun perjuangan Tuanku Rao berakhir dengan kematiannya ditangan penjajah. Namun beliau mewariskan spirit anti penjajah kepada orang Rao dan kepada para pengagumnya ketika itu. Kematiannya sebagai syahid memberi inspirasi dalam menanamkan semangat anti penjajah pada generasi selepasnya. Seorang adik kelasnya yang bernama Tuanku Tambusai terkenal dengan keberaniannya dan ditakuti oleh askar Belanda dan askar upahan ketika itu seperti ketakutan pada harimau. Di Malaysia juga dikenal nama besar Mat Kilau adalah seorang pejuang yang berani dan gigih melawan penjajah juga dikatakan sebagai keturunan Rao. Kemudian, sampai di Di zaman pemerintahan Soekarno pun orang Rao ramai yang terlibat menjadi PRRI. Gerakan ini dikenal dengan gerakan protes melawan pemerintah Soekarno yang zalim dan tidak adil ketika itu. Soekarno hanya membelanjakan kekayaan Negara untuk pusat sahaja, padahal daerah adalah penghasil terbanyak kekayaan negara. Gerakan ini juga diikuti oleh seorang tokoh yang sekarang sudah diangkat menjadi pahlawan Nasional Indonesia iaitu Muhammad Natsir. Seorang putra Rao pengawal peribadi M. Natsir masih hidup hingga sekarang di Rao, dengan bekas tembakan dilehernya masih dapat terlihat dengan jelas hingga kini. Sifat perlawanan ini sepertinya menjadi karakter orang Rao yang diwarisi dari nenek moyang tokoh idola mereka Tuanku Rao sebagai symbol perlawanan terhadap kezaliman dan ketidak adilan ketika itu. Bagindo Suman Sejarah Bagindo Suman / Usman agak lebih jelas daripada sejarah Tuanku Rao. Beliau adalah kemenakan kandung Tuanku Rao dan sekaligus sebagai panglima perang beliau yang sangat gagah dan berani. Salah satu genre sastera yang dikenal hingga saat ini adalah Ratok Bagindo Sumen. Ratok bagindo Sumen itu adalah tangisan ibunya yang menceritakan tentang sejarah anaknya dari kecil, menjadi pejuang hingga kematiannya digantung Belanda. Kematian itu disebabkan oleh pengkhianatan orang Rao yang menceritakan kepada Belanda tentang bagaimana cara membunuh beliau. Konon katanya Bagindo Suman tidak bisa dibunuh, sakti dan keramat dan hanya bisa dibunuh apabila digantung dengan benang tujuh conto (warna) Berbagai peninggalan sejarah beliau berupa jubah besar, tongkat, rangka payung dari besi, pedang, kuburan yang melebihi sais ukuran manusia biasa, saat ini masih dapat dijumpai di Padang Metinggi Rao yang dijaga oleh keturunan beliau. Hanya sahaja pokok kayu tempat menggantung almarhum baru sahaja tumbang pada tahun 2006 lalu. Analisa dan Kesimpulan Tuanku Rao adalah orang Rao Padang Metinggi yang syahid di Air Bangis setelah terperangkap dalam peperangan dan berjaya ditawan, oleh Penjajah diangkut ke kapal Belanda tahun 1833 dan kemungkinan dibuang ke laut dan menjadi gosong. Tuanku Rao adalah seorang Ulama berdasarkan latar belakang pendidikannya di Rao, Aceh dan Makah dan juga berdasarkan gelar keagamaan Fakih Saleh atau Syeikh Muhammad, nama yang kemungkinan beliau peroleh setelah kembalinya dari Makah. Ke-Ulamaan beliau dapat dilihat dari keberhasilan beliau mengIslamkan masyarakat Rao, Tapanuli dan Batak. Para Ulama yang berjuang dengan gigih dan keimanan yang kuat lah sebenarnya yang harus diberi penghargaan sebagai pendiri bangsa Indonesia sesungguhnya. Sebab ulama adalah pemimpin masyarakat yang ikut serta langsung dalam menggerakan perlawananan terhadap setiap bentuk penjajahan. Perjuangan ulama merentasi aliran kesukuan dan kelompok. Ulama terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan, menjadi pemimpin dan ikutan umat dalam perjuangan menegakkan Islam dan kebebasan dari penjajahan. Selepas kemerdekaan negara-negara umat Islam dikuasai oleh para pemimpin yang sekuler dan bahkan anti Islam. Islam dan umat Islam selalu disalahkan atas setiap kelemahan negara Islam seperti korupsi, Kolusi, Nepotisma, ketidak profesionalan, gejala sosial dan jenayah dan sebagainya. padahhal negara umat Islam tidak ditadbir secara Islamic dan oleh orang yang beriman. Ulama silam telah mewakafkan harta, badan dan nyawanya untuk melawan penjajah agar memperoleh kemerdekaan dari tangan penjajah. Mereka menjadi penggerak yang bertindak langsung sebagai pejuang melawan penjajah, dan bukan hanya duduk dirumah memberi arahan sahaja. Kedudukan ulama dizaman silam sangat terhormat dan mulia serta menjadi anutan dan kebanggaan oleh masyarakatnya. Ini kerana ulama adalah orang yang sesuai antara perkataan dengan perbuatannya. Selepas merdeka Negara dikuasai oleh orang-orang sekuler yang sebahagiannya tidak pernah bangkit berperang melawan penjajah. Posisi ulama dipinggirkan dengan berbagai macam propaganda seperti NII, Terorisme, Islam garis keras dan sebagainya. Ini kerana kekuatan umat Islam akan menjadi ancaman bagi kekuasaan mereka kalau tidak diatasi. Umat Islam yang teramai didunia terdapat di Indonesia, umat Islam memiliki kekuatan politik yang dahsat. Akan tetapi Islam dan Umat Islam di Indonesia selalu berhasil dilemahkan mulai zaman Soekarno dengan pembubaran Masyumi, Zaman Soeharto yang memaksa asas tunggal, hinggalah dizaman reformasi yang memberi prediket teroris kepada umat Islam. Sampai saat ini kedudukan Islam dan Ulama di RI masih saja terpinggir akibat penjajahan Barat yang beragama Kristen begitu lama.
[1] Disampaikan oleh Afriadi Sanusi Dalam Simposium International Warisan dan Tamadun Islam di Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya pada 28-29 Disember 2009 [2] Sebelum acara botatah dimulai terlebih dahulu pihak keluarga mempersiapkan bahan-bahan untuk botatah, yakni sirih, nasi kunyit, minyak manis, sodah, upiah, bunga tujuh warna, dan lain lain. Kemudian anak yang akan ditatah disirami dengan beras warna kuning. Beras tersebut disirami ke kepala anak sebanyak 3 (tiga) kali. Ini menandakan adanya pelimpahan rezki bagi anak tersebut nantinya. Langkah selanjutnya, menjalankan anak diatas bunga sebanyak tiga kali, anak diajarkan cara berjalan dengan baik. Kemudian, memandikan anak dengan melulurkan minyak wangi keseluruh badannya merupakan rangkaian pelaksanaan terakhir. Anak dimandikan bersama dengan orang tua perempuan anak dan tukang tatah. Setelah acara botatah tersebut dilaksanakan, anak baru bisa menginjak tanah setelah dua hari kemudian.
Pada 28 April 2010 lalu genaplah 10 tahun Abah dijemput Allah SWT dan sekiranya Abah masih hidup, pada 08 Mei 2010 Abah akan berusia 88 tahun.Aku berasa amat bertuah sekali kerana dapat berkhidmat kepada kedua ibu-bapaku pada tahun-tahun terakhir mereka berada di dunia fana ini. Omak, seorang ibu yang sangat penyayang dan sentiasa tersenyum. Seorang isteri yang sangat menghormati suaminya, tidak pernah berdengus atau membebel dan sentiasa membuatkan suaminya tersengih dengan keletahnya. Satu insiden yang sangat lucu ialah ketika sarapan pagi, Abah meminta sudu yang kedudukannya lebih dekat dengan Abah dari Omak.
Dialognya kira-kira berbunyi begini ... "Som, bak sudu", Omak yang sedang membasuh pinggan menjawab " Mano kuak sudu tu, sudu oo sudu mano tang kawu" sambil membuka laci dan memberikannya pada suami tercinta. Abah bertanya "mengapo kawu ?", jawab Omak "iyo tang pulak, laci tu ken dokek dongen Abah, ambek sang la" dengan gaya selamba. Kedua-duanya tersenyum dan ketawa, pagi yang sangat indah yang penuh dengan kasih sayang. Aku berasa sunggoh seronok melihat keletah mereka dan pilu mengenangkan isteri kesayanganku masih berada di Kuala Lumpur kerana belum diluluskan permintaannya untuk bertukar ke Pulau Pinang. Omak memang suka berseloroh, lagi satu insiden yang paling lucu ketika Abah meminta "Palsweet" sejenis pemanis untuk pengidap diabetes. "Som bak palsweet", Omak datang kesisi Abah dengan ketawa dan menepuk punggongnya sambil berkata "nah posuiet (punggong)" memang cukup geli hati sehinggakan Abah tidak dapat berkata apa-apa. Begitulah mesranya mereka berdua.Omak kembali ke Rahmatullah pada bulan November 1994. Abah sangat tenang tetapi kesedihan terbayang di wajahnya. Bermula dari saat itu, aku sentiasa berada di sisinya dan memberikan yang terbaik kepadanya.
Di peringkat awal pemergian Omak tersayang, aku bertanggungjawab menyediakan makan minumnya dan juga keperluan lain. Apabila ada kelapangan, adikku Ratna Huda yang pada waktu itu tinggal di Butterworth akan datang membawa makanan yang dimasaknya dari rumah, Abah makan dengan penuh selera. Ratna juga akan membawa pulang kain-baju untuk dicuci. Pada bulan Ramadan, setelah pulang dari pejabat, aku akan membawa Abah ke Butterworth pula. Kami akan berbuka puasa, berterawih dan bersahur di rumah adikku itu dan pulang semula ke rumah di Gelugor, pagi berikutnya. Abah akan tinggal di rumah bersendirian apabila aku ke pejabat sesudah menyuntik insulin dan bersarapan dengannya. Aku akan membeli makanan untuk makan tengah hari bersamanya, balik semula ke pejabat sesudah menyiapkan "syahi" (teh) untuknya. Begitulah juga untuk makan malam. Di masa kesihatannya agak baik, Abah mandi sendiri tapi dengan pengawasanku. Abah tidak pernah merungut atau komen tentang makanan yang ku bawa balik, Abah selalunya makan dengan berselera. Aku akan sentiasa membeli makanan kegemaran yang di pesannya.
Suatu ketika Abah pernah berkata padaku, "Kawu penyabar macam Omak kawu, sebab itulah Allah kirimkan kawu untuk menjago Abah". Rasa sangat terharu sekali mendengar kata-katanya itu.Tapi Abah tidak selalu kesunyian kerana anak-anaknya akan sentiasa datang bergilir-gilir pada setiap hujung minggu atau aku akan membawanya bersama ke Kuala Lumpur untuk bertemu isteri yang sentiasa aku rindui. Biasanya Abah akan tinggal bersama kakak/adik sehingga aku datang semula untuk mengambilnya. Setiap hari akan ramailah yang datang ke rumah yang didiaminya itu, kebiasaannya Abah akan tinggal di rumah kakakku Zurina atau adikku Widad. Selalunya dalam perjalanan pulang ke Pulau Pinang, Abah akan singgah ke rumah kakakku Afifah di Ipoh dan kebiasaannya akan bermalam di sana. Suatu waktu, ketika aku baru sampai dari Pulau Pinang untuk bersama-sama menyambut hari lahirnya di Kuala Lumpur, Abah memelukku dengan erat dan aku dapat merasakan kerinduannya kerana agak lama juga Abah tinggal di KL, Allah sahaja yang mengetahui betapa sebaknya hatiku di saat itu. Adikku Widad kemudiannya mengambil keputusan untuk berpindah ke Pulau Pinang bersama keluarga. Widad memberi tumpuan sepenuhnya terhadap Abah. Alhamdulillah makan- minum, kain-baju terurus dengan baik sekali.
Abah paling gembira kalau anak menantu dan cucu-cucu berkumpul. Kami sentiasa berkumpul di rumahnya atau rumah anak-anaknya. Solat Maghrib berjemaah menjadi agenda utama dan disusuli pula dengan tazkirah oleh Abah. Makan malam biasanya Abah akan belanja makan di luar dan sudah semestinya kami akan menjadi tumpuan kerana jumlah yang ramai. Apabila membayar Abah akan berkata 'Credit card tak ada, Bank Negara card ada (tunai)". Abah mengajar kami makan berjemaah kerana keluarga lebih berkat makan bersama dan mestilah berpakaian kemas apabila makan. Katanya instituisi kekeluargaan bermula di meja makan. Di situlah keluarga dapat meluangkan masa bersama dan menceritakan perihal masing-masing. "Ambek apo yang ado di dopen dolu, peragak (ingat) urang di belakang" - itulah kata-kata yang selalu disebut kepada cucu-cucu yang biasanya rakus di meja makan.Selain anak-anak menantu dan cucu-cucu, Abah amat menyayangi adik-adiknya, ipar-duai dan anak-anak saudaranya.
Anak saudara memanggilnya Pak Lang, manakala yang sebelah Omak memanggilnya Pak Ngah. Abah sentiasa pastikan yang anak-anak saudaranya juga dapat merasai apa yang di beri kepada anak-anaknya. Abah akan memilih seorang dari setiap keluarga adik-adiknya dan membawa mereka bersama anak-anaknya. Saat yang paling ditunggu ialah pada Hari Raya Aidilfitri dan Aidiladha kerana Abah akan memberi duit raya kepada adik-adik dan anak-anak saudara, tak kira sama ada mereka dah berumur atau masih kanak-kanak. Anak-anak saudara akan berseloroh bertanyakan kepadanya berapa Pak Lang akan beri kali ini. Lagi satu tradisi yang diamalkan ialah anak-anak saudara yang lulus peperiksaan besar seperti PMR atau SPM akan diberi imbuhan. Adik perempuannya, Almarhummah Hajjah Jawahir dan Hajjah Kamariah sangat manja dengan abang mereka, Abah akan menyuruh kami menjemput mereka berdua untuk minum petang dan bersembang bersamanya.Kami akan menghantar kedua-dua maciek kesayangan kami itu balik sesudah solat Maghrib berjemaah. Begitu juga dengan kedua-dua adik lelakinya, Almarhum Haji Abdul Majid dan Almarhum Haji Shamsudin, yang kerap menziarahi dan minum petang bersama abang mereka.
Abah juga selalu menziarahi adik isterinya Maciek Norain di Alor Setar, kata Abah "kilen hondak la menyayangi dan menziarahi urang yang omak dan abah kilen sayang".Abah seorang yang sangat sederhana, tapi sangat karismatik. Sentiasa dikagumi kawan dan lawan kerana punya prinsip yang utuh. Tidak heran dengan duniawi ini, Abah akan sentiasa menasihati agar tidak taksub mengejar kebendaan dan sentiasa menghormati kedua ibu-bapa. Katanya " Jangan kejar dunia, biar dunia datang dengan sendirinya. Jangan paksa diri untuk dunia, Allah akan datangkan dunia kepada kita. Yakinlah pada Allah SWT dan yakinlah kepada perjuangan. Jangan menggadaikan maruah dan perjuangan hanya semata-mata untuk dunia. Jangan sekali-kali menyakiti akan kedua ibu-bapa, sayangilah dan hormatilah mereka".
Dengan prinsip inilah Abah sudah mendapatkan apa yang orang lain terkejar-kejar untuk mendapatkannya. Orang mula-mula di carinya apabila ada khabar gembira ialah bondanya. Pernah suatu ketika semasa di tawar jawatan Timbalan Menteri, Abah terus ke rumah bondanya dan mahu mencium kaki bondanya tetapi tidak di benarkan oleh bondanya. Abah akan sentiasa memohon restu bondanya dan seboleh-bolehnya mahu membawa bondanya bersama kemana sahaja Abah pergi. Abah membawa Omak melawat hampir 3/4 dunia, dapat juga membawa bondanya mengerjakan umrah dan melawat Eropah. Aku juga hampir mengikutinya melawat negeri China tetapi disebabkan tanggungjawab yang lain, abangku Usamah menemaninya kesana.Ketika terlalu uzur, Abah berpesan agar dihalalkan akan sesiapa sahaja yang berhutang dengannya kecuali hutang anak-anaknya. Abangku Ahmad Nazrien bertanya kenapa anak-anak wajib membayar hutang mereka sedangkan orang luar tidak?. Abah menjawab " if you can repay debts from your father, than you will not have problem in managing your life", sungguh dalam maksudnya. Bermakna anak-anaknya wajib berpegang teguh kepada janji dan prinsip.
Pada hari Jumaat 28 April 2000, sesudah menunaikan solat Suboh, Abah memanggil anak-anaknya sambil meletakkan tangannya seperti "qiam" dan jarinya mengangkat tanda "syahadah". Abah pulang ke Rahmatullah dengan tenang kira-kira jam 7.15 pagi.Abah, tak tahulah samaada aku dapat menjadi sepertimu. Sungguh kental iman mu dan sungguh cantik pekerti mu. Aku menyimpan janggut seperti mu, setidak-tidaknya ada juga persamaanku dengan mu kerana aku tidak sepintar mu, tidak sehebat mu, tidak sesopan mu dan cetek sungguh ilmu ku.Terima kasih Abah kerana menyanyangi ku, isteriku dan anakku. Semoga Allah SWT mengampuni dan merahmati akan kedua ibu-bapaku dan kedua ibu-bapa mereka - amin. Catatan oleh Khairi Rawa, Pulau Pinang
Dato’ Hj. Mustapha b Raja Kamala adalah salah seorang ketua kaum Rao di Gali, Raub berhijrah ke Tanjong Malim sekitar tahun 1870-1871. Beliau adalah pengikut Tok Gajah@Imam Perang Rasu. Adalah diketahui Hj. Mustapha itu bergelar ‘TUN’ yang diberikan oleh Sultan Pahang semasa beliau berada di Pahang. Adalah dimaklumkan makam Allahyarham Dato’ Hj. Mustapha terletak berhampiran dengan makam Tuan Sheikh Ismail Naqsyabandy ar-Rawi di perkuburan CABANG, Tanjong Malim, Perak.
SUBARI AHMADKUANTAN, PAHANG, MalaysiaArisel Ba atau nama sebenarnya Subari bin Ahmad dilahir pada 11 Ogos 1953 di Ladang Selborne, Kuala Lipis, Pahang. Beliau mendapat pendidikan awal dan menengah dari Sekolah Menengah Clifford, Kuala Lipis, Pahang. Kelulusan tertinggi beliau adalah dalam bidang Komunikasi dari Universiti Putra Malaysia (UPM) 2003. Mula menulis secara serius tahun 1976 dimana puisi pertamanya Gua Bama tersiar di majalahDewan Sastera, April 1977. Selain puisi, Arisel menulis cerpen, novelet, drama pentas, berita dan rencana. Karya Arisel telah terbit di akhbar, majalah dan antologi puisi/cerpen bersama. Telah terbit novelet pertamanya DENDAM MALAM GERHANA (1982). Antologi Sajak AKSARA ‘XXX’ terbit tahun 2004 adalah buku puisi pertama beliau setelah menulis sajak lebih 30 tahun. Kini telah bersara dari Perkhidmatan Kerajaan setelah berkhidmat selama 35 tahun.Ismail @ Subari ar-Rawi
Pada akhir kurun ke 19 (dianggarkan antara 1870 – 1890), di Pulau Sumatera berlaku satu kesulitan sama ada pergaduhan sesama sendiri atau satu peperangan menyebabkan seorang gadis di awal belasan tahun bernama Tupin telah dibawa oleh bapa saudaranya (bapa saudara sebelah ibu yang dipanggilnya mamak dalam bahasa Minangkabau) bernama Pulasan datang rhijrah ke kawasan ini.
Selepas beberapa lama kemudian (tidak dipastikan jarak masa antara samada bulan atau tahun), seorang lagi anak saudaranya bernama Supek, telah dijemput dan dibawa tinggal bersama mereka. Nama-nama yang mereka gunakan di sini bukanlah nama asal mereka semasa di kampung halaman dahulu. Walaubagaimana pun nama sebenar mereka tidak diketahui.
Ketika berusia lewat belasan tahun, Tupin pernah kembali semula ke kampung halaman asalnya dan dikatakan telah singgah di Pagar Ruyung diatas sebab-sebab yang tidak diketahui.
Di Lenggeng NS, Tupin dan bapa saudaranya itu mula-mula tinggal di satu tempat yang sekarang dipanggil Kampung Jelebu dan kemudian berpindah ke satu lokasi lain yang berdekatan bernama Kg. Sungai Machang Hilir. Tidak diketahui samada kampung-kampung ini dibuka oleh mereka sendiri atau sememangnya telah ada terdapat penempatan awal di situ.
Di sebelah Kg Sg Machang Hilir tersebut, menuju ke Kg Jelebu ada terdapat 3 buah kampung yang dikenali sebagai Kg Rawa Hilir, Kg Rawa Tengah dan Kg Rawa Hulu. Kampung-kampung ini dinamakan bersempena nama keturunan mereka dari daerah Rao di Pulau Sumatera. Di sinilah mereka membuat penempatan awal dan berkeluarga. Pulasan telah berkahwin dengan seorang wanita dari Rembau bernama Maliah, Tupin berkahwin dengan Ali dan Supek juga telah berkahwin dengan seorang lelaki dari satu tempat yang dipanggil Pinang Baik (Kg sg. Tua, Selayang) dan terus menetap di sana.
Pada hari ini masih lagi terdapat cucu dan cicit Pulasan yang tinggal di perkampungan tersebut. Kesemua anak Pulasan seramai 10-12 orang telah meninggal dunia. Pulasan yang meninggal dunia selepas dikatakan menjadi buta disebabkan mengalami sakit mata yang teruk masih lagi belum dikenalpasti lokasi kuburnya. TUPIN MEMBUKA KG. DACHING
Suatu hari selepas waktu zohor, Tupin pergi ke hutan dan didapati tidak kembali ke rumahnya. Semua sanak saudara menjadi bimbang, samada beliau telah menjadi mangsa binatang buas di hutan. Hari ke hari mereka mencari kesan-kesan laluan beliau dengan bantuan sekumpulan orang asli tempatan bagi menjejaki kemanakah haluan yang telah ditujuinya.
Setelah mencari selama lingkungan sepuluh hari sepuluh malam, tiba-tiba seorang dari kaum asli tersebut ternampak kesan kewujudan beliau di satu tempat. Mereka pun terus berteriak di atas penemuan tersebut menggunakan loghat bahasa orang asli tempatan. Tupin dan anaknya, Yusuf, yang masih di dalam dokongan itu, telah ditemui berpondok di satu lokasi di hutan dan di lokasi inilah akhirnya mereka membuka perkampungan baru. Perkampungan baru ini terus dinamakan Kampung Daching bersempena bunyi bahasa orang asli tersebut semasa menemui Tupin. Ia terletak lebih kurang 15 km dari kampung pertama mereka di Kg. Jelebu.
MEMBINA RUMAH GODANG
Tidak diketahui siapakah Tupin sebenarnya semasa di kampung halamannya tetapi jelas kelihatan, dia bukanlah orang biasa yang memadai dengan kehidupan biasa. Sifatnya yang sangat cekal serta berpendirian teguh membezakan dia dari orang lain.
Dia mempunyai cita-cita yang tinggi di dalam kehidupannya. Dimulai dengan membina sebuah rumah menghadap permandangan gunung-ganang sayup-sayup mata memandang. Mereka menebang hutan yang tebal untuk dijadikan tiang-tiang dan dinding rumah. Rumah ini selain berkeluasan besar dan selesa, ia juga dibina dengan menggunakan sistem pasak yang dipelajari semasa di kampung halaman.
Rumah yang kelihatan berbeza dari rumah-rumah lain di sini telah menjadi mercu tanda di kampung ini. Kini telahpun berusia melebihi 100 tahun, walaupun telah kelihatan usang masih lagi tidak di mamah anai-anai. Keluasan rumah ini sekarang hanya tinggal di bahagian anjungnya sahaja kerana bahagian ruang utama dan dapur telah dirobohkan. Walaupun tidak dinyatakan secara rasmi, orang-orang di kampung ini dan sekitar memanggilnya sebagai Rumah Gadang.
Berpindahlah Tupin, suami serta anaknya menetap sehingga akhir hayatnya. Selepas kematian Tupin, rumah ini didiami oleh anak perempuannya dan sekarang ini didiami oleh cicit perempuannya. Bersebelahan kira dan kanan rumah ini sekarang didirikan rumah kedua-dua cucu perempuan beliau.
SURAU SULUK
Ilmu keagamaan masih belum lekang di hati mereka. Selepas siapnya rumah kediaman mereka, Tupin dan suaminya membina pula sebuah surau, bersebelahan dengan rumah tersebut. Mereka menjemput seorang guru agama dari daerah Bonjol, Sumatera bernama Tuan Hj. Sheikh Said. Tuan Hj Sheikh Said telah menjadi rujukan utama kepada apa saja permasaalahan agama pada ketika itu.
Disamping pelajaran agama yang asas, sheikh Said juga mengajarkan pengajaran tasauf dari Tarekat Naqsabandiah. Dalam amalan tarekat ini, mereka sering melakukan amalan Sulok atau tinggal berasingan di surau dalam masa beberapa lama melakukan muhasabah diri dan penyucian jiwa melalui zikir yang berterusan. Oleh kerana jemaah yang terlalu ramai, jemaah perempuan mengadakan sulok di rumah gadang manakala lelaki ditempatkan di surau.
Amalan Sulok ini kerap di amalkan di surau ini sehingga surau ini terus dinamakan sebagai Surau Sulok sehingga kini.
MENGAMALKAN KEHIDUPAN BERADAT dan BERSUKU
Sebagaimana amalan yang diamalkan di kampung halaman, sejak awal lagi Kg Daching telah mengamalkan kehidupan bersuku. Walaubagaimanapun orang-orang di Kg Daching dan Lenggeng yang berasal dari Sumatera tidak menggunakan nama suku yang sama seperti di Negeri Sembilan. Suku-suku yang diwarisi oleh mereka mengikut suku-suku asal sebelum nenek moyang mereka tiba di Tanah Melayu.
Walaubagaimanapun Tupin adalah bersuku Melayu, begitu juga anak-anak cucu disebelah perempuan. Suku-suku lain termasuklah suku Jambak, suku Tanjung dan sebagainya. Amalan suku ini hanyalah bagi mengenali susur galur waris dan keturunan.
Adat-adat peradaban juga di amalkan. Ia menjadi penting apabila diadakan satu majlis perkahwinan atau apa-apa majlis keramaian. ‘Adat’ ini (boleh juga dikatakan sebagai peraturan), diperturunkan dari pusat pemerintahan N. Sembilan di Seri Menanti melalui wakil-wakil di daerah Pantai, N.Sembilan. Semasa di awal penubuhan Kg. Daching, Tupin sering pergi ke Daerah Pantai, 30 km dari Kg Jelebu, untuk ‘mengambil adat’ (menerima mengisytiharan adat).
Adat-adat yang diisytiharkan akan diamalkan di dalam masyarakat kampung. Ketua adat di Kampung ini iaitu juga dipanggil ‘Tok Ampek’ (Tok Empat) akan memberitahu peraturan-peraturan apabila diperlukan. Tok Empat di Kg. Daching adalah dari keturunan Tupin seperti berikut :
Tupin (wakil Pertama) | Tok empat Yusuf(Jusuik) (Anak lelaki Tupin yang Sulung) | Tok Empat Baharum(Anak lelaki salah seorang anak perempuan Tupin. Tetapi jawatan ini telah diwakilkan kepada bapanya Alias (Lieh) kerana pada masa itu, Baharom masih muda) | (sekarang) Tok Empat Mulup (Anak lelaki kepada anak perempuan Tupin)
Begitulah aturcara adat di Kampung Dacing. Setiap Tok Empat hanya menguruskan adat bagi masyarakat sekitar kampung ini sahaja. Kampung lain yang berdekatan mempunyai ketua adat yang berlainan, yang dipanggil dengan nama panggilan yang berlainan. PERKEMBANGAN BAHASA PERTUTURAN
Perkembangan bahasa di Kg Dacing dan daerah Lenggeng adalah satu perkara yang boleh dibincangkan. Pada dasarnya jika dilihat pada waktu sekarang ini, bahasa kebanyakan penduduk di daerah lenggeng (tempat kediaman Pulasan) mirip kepada bahasa yang digunakan oleh orang-orang Negeri Sembilan seperti di Rembau dan Kuala Pilah
Di Kg. Dacing pula, 100% penduduk menggunakan bahasa Minangkabau termasuk juga dari keturunan anak-anak Tupin. Anak-anak dan cucu Supek pula berbahasa Minangkabau apabila berhubung dengan orang-orang di Kg. Daching.
Bagaimana dengan Pulasan, Tupin dan Supek pula. Pulasan, masih belum diketahui apakah bahasa yang digunakan semasa artikel ini ditulis manakala Supek pula berbahasa Rao. Tupin pula biasa dilihat bercakap bahasa Rao semasa berbual dengan kawan-kawan atau saudara-maranya yang tinggal di daerah-daerah lain. Ada juga yang mengatakan dia berbahasa minangkabau semasa di rumah.
Bagi masyarakat lenggeng yang berbahasa N.Sembilan. Berikut adalah teori peribadi saya. Oleh kerana Pulasan berkahwin dengan seorang wanita bernama Maliah dari Rembau. Jika Pulasan berbahasa Rao bercampur dengan Maliah berbahasa Rembau, bahasa Rao dan Rembau ada mempunyai banyak persamaan dari segi intonasi perkataan tetapi ada sedikit perbezaan dari segi irama ayat. Pertembungan dua bahasa ini bercampur dengan pengaruh persekitaran, hasilnya menjadi bahasa N.Sembilan yang digunakan oleh mereka sekarang.
Bagi keluarga keturunan Tupin di Kg. Dacing yang berbahasa Minangkabau pula, saya ingin menyatakan satu fakta yang jelas ialah, Bahasa Minangkabau yang digunakan adalah berbeza sedikit dari segi irama ayat dan sebutan perkataan berbanding dengan bahasa Minangkabau yang digunakan umum di Sumatera dan masyarakat Kg. Dacing yang lain.
Dari fakta di atas, saya mendapat dua teori. Pertama, jika Tupin berbahasa Minangkabau di rumah, ini adalah disebabkan oleh pengaruh bahasa yang dipertuturkan di sekitar Pagar Ruyung di daerah Minangkabau. Teori kedua, terdapat pengaruh bahasa Minangkabau jika Tupin berkahwin dengan lelaki dari Minangkabau, Pertembungan diantara bahasa keturunannya di Rao dan bahasa Minangkabau, menghasilkan bahasa Minangkabau-Rao yang digunakan oleh keturunan Tupin di Kg. Dacing sekarang.
Bermulanya kedatangan Tupin ke sini, menyebabkan ramai lagi orang-orang Minangkabau di daerah persekitaran juga telah banyak berhijrah ke sini diakhir kurun ke 19. Diantaranya termasuklah dari Pasir Laweh, Kumpulan, Paya Kumbuah dan sebagainya menjadikan Kg. Dacing sebuah kampung yang di huni oleh masyarakat Minangkabau sepenuhnya. Banyak daripada mereka masih menggunakan bahasa Minangkabau yang asal.
TEMPAT YANG DILAWATI DAN PEMIMPIN YANG DIGEMARINYA
Semasa hayatnya, Tupin sering melawat ke tempat-tempat lain di sekitar Tanah Melayu semada menemui saudara-maranya atau sahabat handai. Di antara tempat-tempat yang biasa di lawatinya termasuklah di Pinang Baik (Kg. Sg Tua, Selayang), Janda Baik,Pahang, satu tempat di Perak tetapi tidak dipastikan namanya. Ada juga tempat-tempat yang tidak diketahui lokasinya. Beliau juga sering menyebut tentang Kampung Raja tetapi tidak dapat dipastikan lokasinya.
Di awal kurun ke 20, beliau mengerjakan haji ke Mekah bersama suami dan anaknya bernama Husin yang masih kecil pada waktu itu.
Semasa hayatnya, beliau juga pernah di datangi seorang wakil untuk menyuruhnya pulang semula ke tempat asalnya tetapi beliau menolak jemputan tersebut.
BARANG-BARANG PENINGGALAN ARWAH
Tupin semasa hayatnya telah menjadi satu ikon bagi penduduk di sekitar. Beliau merupakan seorang yang aktif dalam masyarakat. Beliau telah meninggalkan banyak ladang-ladang yang diwariskan kepada anak-anak beliau.
Beliau ada juga meninggalkan beberapa barang-barang samada di dapati di sini atau dibawa dari di Sumatera. Barang-barang tersebut termasuklah sebuah peti logam, periuk tembaga, dulang tembaga, sebuah gong, katil besi tinggi, dua bilah lembing, perhiasan sanggul campuran tembaga, rantai lebar campuran tembaga, satu medal tahun 1938 bergambar queen dan hiasan pelamin untuk kenduri perkahwinan.
Barangan tersebuat walaupun biasa dilihat oleh anak-anak dan cucunya, kini sudah banyak yang hilang. Hanya ada beberapa barangan yang masih tersimpan.
KEMATIAN TUPIN
Tupin telah meninggal dunia pada pada 21hb April, 1945. Di atas batu nesannya tertulis nama beliau sebagai Tupin bt. Menang. Semasa kematiannya dianggarkan beliau berumur awal 80an. Beliau telah dikebumikan di hadapan Surau Sulok seperti mana yang di kehendakinya.
Sebelum itu suaminya telahpun meninggal terlebih awal dari itu. Selepas kematian Tupin, terputuslah semua hubungan bagi anak-anak dan cucu-cucunya dengan sahabat dan saudara maranya di negeri lain dan di Pulau Sumatera.